Dosen UI: Ada Dugaan IKN Jadi Tempat Tinggal Orang-orang Dituding Komunis Korban 66

Ada dugaan Ibu Kota Negara (IKN) menjadi tempat tinggal orang-orang yang dituding komunis korban 66 termasuk dari luar negeri.

“Anda bisa membayangkan saya sudah masuk di kepala saya bahwa IKN itu bisa dibangunkan tempat tinggalnya mau apa mereka didatangkan dari luar negeri yang mengaku korban 66 tapi bagaimana yang tadi yang diduga hanya dugaan saja,” kata Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Mulyadi di Channel YouTube Edy Mulyadi.

Mulyani meminta BIN untuk bekerja menyelidi IKN atas dugaan menjadi tempat tinggal orang-orang komunis dari luar negeri. “Saya minta intelijen harus masuk di IKN karena BIN tidak ada. Justru yangn ada TNI dengan polisi,” paparnya.

Ia menilai, rekomendasi TPP-HAM yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu dinilai bias bagi pelaku dan korban. Utamanya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1966, yaitu upaya kudeta terhadap kepemimpinan yang sah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mulyadi menjelaskan, peristiwa kudeta yang menelan korban cukup banyak itu sangat kental dengan kekerasan politik. Sejak peristiwa itu pecah, meski TNI bergerak menyelamatkan negara ini dari upaya kudeta usai penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal berpengaruh, namun faktanya PKI tetap memposisikan diri sebagai korban dari peristiwa berdarah tersebut.

“Siapa korban dan siapa pelaku? Semua mengaku sebagai korban,” kata Mulyadi.

Mulyadi memaparkan, dalam sejarahnya, gerakan komunisme di dunia, termasuk di Indonesia, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah. Sebab, komunisme menghalalkan upaya kudeta negara demi upaya memuluskan bentuk pemerintahan ideal menurut teori komunisme.

“Tiada komunisme tanpa darah dan dendam. Dalam sistem komunisme, alat produksi akan diambil paksa oleh mereka,” ujar Mulyadi.

Di sisi lain, Mulyadi menilai penyelesaian persoalan kasus ini juga masih dalam sebatas dugaan saja.

“Pemerintah berpotensi melakukan cuci tangan terhadap penyelesaian kasus-kasus tersebut. Di sisi lain, akan menimbulkan ketegangan baru antara pelaku dan korban. Saya juga menduga bisa jadi penyelesaian kasus ini akan di-infiltrasi oleh pihak-pihak tertentu,” katanya.

Dalam hal pembentukan TPP HAM, Mulyadi mempertanyakan mengapa harus dibentuk lembaga baru lagi. “Kenapa tidak mempercayakan kepada Komnas HAM yang merupakan lembaga yang dibentuk secara independen dan demokratis,” tegasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News