Mantan Penasihat KPK Heran PPATK Sebut Pencucian Uang bukan Korupsi

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat mengherankan menyebutkan kasus pencucian uang bukan tindakan korupsi.

“Jadi selama 15 tahun KPK menangani pencucian uang. Kalau PPATK menyebut pencucian uang tidak korupsi, KPK salah dong. KPK sudah puluhan menangani pencucian uang,” kata mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua dalam diskusi di Jakarta, Jumat (17/3/2023).

Kata Abdullah, transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenkeu dianggap bukan tindak pidana korupsi. “Mahfud MD, Sri Mulyani dan PPATK meralat terkait transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenenkeu. ketika saya di KPK sidak Bea Cukai di Tanjung Priok ditemukan uang di sepatu dan pigura,” ungkapnya.

Kata Abdullah, Kemenkeu, ada inspektorat untuk mengawasi para pegawai termasuk di Dirjen Pajak dan Bea Cukai namun masih ada yang korupsi. “Di dalam setiap kementerian termasuk Kemenkeu ada inspektorat untuk mengawasi para pegawainya,” jelasnya.

Abdullah mengatakan, pejabat Bea Cukai justru mengajari yang tidak benar kepada pengusaha yang ingin mengirim barang dari Sumatera ke Pelabuhan Tanjung Priok. “Orang Bea Cukai bilang barang yang dibawa volumenya dinaikkan agar tidak terkena biaya, tapi pegawai Bea Cukai menerima fee,” tegas Abdullah.

Abdullah mengatakan, negara tidak ada yang dirugikan ketika pejabat menerima gratitikasi. “Namun pejabat yang menerima gratifikasi termasuk korupsi,” paparnya.

Sebelumnya, Abdullah mengungkapkan cara pegawai pajak memanipulasi dalam memberikan setoran pajak ke negara. Pegawai Pajak melakukan manipulasi dengan seseorang atau perusahan sebagai wajib pajak. Dari konsekuensi itu, pegawai pajak mendapatkan bayaran dari pihak yang mempunyai wajib pajak.

“Seorang petugas pajak ketemu dengan wajib pajak Rp100 juta, maka kemudian petugas pajak itu apakah sebagai konsultan pajak atau petugas pajak akan mengatakan ‘ok gimana kalau Anda bayar saya Rp25 juta maka Anda setor kepada pemerintah hanya Rp50 juta. Nah, anda masih untung Rp25 juta’, itulah yang terjadi,” ujar Abdullah di kanal Youtube Refly Harun dilansir pada Rabu (8/3/2023).

Abdullah mengatakan di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan menggunakan Ke Performance Indicators (KPI) bahwa satu pegawai bisa menargetkan 100 persen wajib pajak maka mendapatkan tunjangan mencapai Rp100 juta setiap bulan.

“Akhirnya pegawai pajak kejar untuk bagaiamana mendapatkan pajak itu mulai dari paling kere, sampai kakap,” tuturnya.

Menurutnya, perusahaan di Indonesia memiliki cara culas agar mendapatkan keringan pajak.

“Perusahaan memiliki dua buku, buku pertama isinya aset perusahaan yang nilainya tinggi untuk mendapatkan kredit dari bank. Buku kedua berisi perusahaan yang mengalami kerugiaan dan utang banyak sehingga bisa mendapatkan keringan pajak,” katanya.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News