Panen Raya Jokowi Hanya Pencitraan

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Momen kebersamaan antara Jokowi, Prabowo dan Ganjar di sebuah Persawahan di Kebumen, Jawa Tengah ketika sedang Panen Raya ditanggapi beragam oleh para pengamat dan netizen. Wajar karena sudut pandang mereka berbeda. Namun kebanyakannya mengaitkannya dengan masalah politik, yaitu adanya dukungan Jokowi kepada Prabowo dan Ganjar sebagai Capres-cawapres di Pilpres 2024

Ada juga yang menyorotinya dari sisi jabatan yang diembannya : Ganjar dalam kapasitas sebagai Gubernur Jawa Tengah, sedangkan Prabowo berkaitan dengan masalah Ketahanan Pangan.

Penulis sendiri akan menyorori dari sisi yang lain, yaitu upaya Jokowi untuk Pencitraan Mengapa bisa demikian ? Ini analisanya :

Pertama, Antara yang ditampilkan dengan yang terjadi sebenarnya tidak sinkron

Dalam penampilannya, seolah Jokowi berpihak kepada petani. Padahal, selama era Jokowi para petani selalu menjerit karena tidak ada keberpihakan Pemerintah terhadap para petani (kecil) dengan cara memproteksi harga-harga.

Ketika para petani berharap mendapatkan harga yang bagus, tapi setiap panen justru harga gabah anjlog. Untuk panen kali ini, harga gabah anjlok dari Rp. 5.600/kg menjadi Rp 3.500/kg.

Di Jawa Timur, seperti di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Mojokerto, harga GKP (Gabah Kering Penggilingan) saat ini jatuh hingga Rp 3.500 per kilogram. Padahal sebelumnya batas atas tersebut dikeluarkan, harga GKP di wilayah itu mencapai Rp 5.600 per kilogram.

Liramedia.id.com_ melaporkan dari Sidoarjo :
“Sungguh miris nasib petani kecil. Mereka harus menanggung banyak beban lantaran kurangnya campur tangan pemerintah membantu mereka. Semisal musim panen, petani harus dihadapkan dengan harga gabah murah. Padahal untuk panen, mereka harus mengeluarkan biaya yang tak.sedikit.”

“Bagi saya yang lahir sebagai anak petani, hidup bersama keluarga petani sampai 35 tahun, semua iming-iming dari mereka yang katanya berpihak ke petani itu hanyalah kode konyol,” kata S, seorang petani asal Sidoarjo.

Bahkan para petani juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk. Mereka menduga ada permainan mafia di bidang pupuk. Ketika para petani datang ke kios pupuk kadang dipersulit, dibilang belum terdaftar, akhirnya harus membeli pupuk dengan harga mahal.

Sampai-sampai Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menerima aduan dari sejumlah petani terkait program pupuk subsidi. Misalnya keluhan terkait dengan Kartu Tani untuk mendapat pupuk subsidi

Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pemerinta cq Menteri Pertanian bisa mengendalikan distribusi pupuk sampai ke tangan petani. Demikian juga soal anjlognya harga gabah kering, tidak akan jatuh apabila Bulog bisa memproteksi harga gabah dari perani dengan cara “membeli semua hasil panen petani” dengan harga yang tinggi. Ini baru disebut pemerintah mendukung program pertanian. Jika hanya diserahkan kepada mekanisme pasar, maka setiap panen pasti harga akan jatuh karena sesuai prinsip ekonomi : “semakin banyak stok maka harga akan turun”. Di sinilah peran Pemerintah dalam menjaga kestabilan harga.

Kedua, Selama era Jokowi impor beras tidak terkendali dan selalu mematikan petani (kecil).

Kadang antara kebijakan Bulog dengan Menteri Perdagangan tidak saling sinergi. Ketika stok beras di bulog masih menumpuk, tapi selalu impor beras, di sisi lain waktunya impor bersamaan dengan musim panen. Stok beras di bulog masih melimpah, datang lagi beras dari impor, akhirnya beras hasil panen petani terlantarkan. Keluhan ini berkali-kali disampaikan oleh Kabulog, Budi Waseso (Buwas). Padahal Jokowi sendiri dari awal kampanye sampai menjabat Presiden periode kedua selalu menjanjikan tidak akan impor beras. Tapi kenyataannya : impor lagi impor lagi dan impor terus. Kapan petani mau maju, apalagi sampai bisa swasembada pangan seperti di Zaman Suharto di mana Indonesia bukan saja bisa swasembada pangan, bahkan bisa ekspor ke beberapa negara.

Ketiga, Jokowi sudah terbiasa mendahulukan pencitraan dan membuat head line di media, tetapi substansinya tidak sesuai.

Saking seringnya pencitraan, sehingga ketika Jokowi menunjukkan atau menyampaikan sesuatu, rakyat sudah apriori dan tidak melihatnya dari sisi kebaikan atau positive thinking, tapi sudah benar-benar tidak dipercaya dan diabaikan. Apalagi dengan munculnya pameo : untuk memahami ucapan Jokowi harus dengan cara terbalik, saking tidak bisa berkata jujur dan konsisten. Jadi sikap apatis dan apriori sudah terbentuk dalam benak masyarakat. Selain dapat julukan : King of Lip service juga sebutan konsisten dalam inkonsistensi Apa pun juga yang ditampilkan dan dsampaikan Jokowi akan buru-buru ditanggapi masyarakat : ah pasti juga bohong. Sungguh menyedihkan

Orang yang suka pencitraan (tanpa karya nyata) memang biasanya otaknya kosong, tidak punya gagasan, apalagi menjadi problem solver.

Kelihatannya saja sih orang yang suka pencitraan tampak baik, karena sengaja dilambungkan oleh para buzzer rp, bahkan mereka rela untuk memutarbalikkan fakta.

Antara Jokowi dan Ganjar Pranowo dalam hal pencitraan seperti pinang dibelah dua atau diistilahkan 11-12, sama-sama jago pencitraan. Makanya Jokowi sangat ngotot untuk mencapreskan Ganjar karena karakter Ganjar mirip Jokowi. Sayangnya belang Ganjar sudah diketahui Megawati, padahal para buzzer rp, lembaga-lembaga survey pelacur, dan beberapa media mainstrem dan media sosial tertentu sudah berupaya membuat manipulasi sedemikian rupa sehingga dalam survey-survey mereka Ganjar selalu teratas (nomor satu). Padahal hasil survey CSIS, ILC, VOXPOL, IPO, dll Anies yang unggul. Bahkan menurut polling trend dari Google (yang disampaikan Dr. Syahganda), pemilih Ganjar dan Prabowo tidak mencapai setengahnya dari pemilih Anies.

Pemilih Ganjar saat ini turun dari sekitar 15-25% sekarang tinggal sekitar 7-12%.

Masih mau ngotot menampilkan elektabilitas Ganjar di peringkat pertama di atas Prabowo dan Anies ? Hari masih mau nipu rakyat ? Dijamin bakal wirang.

Bandung, 24 Syaban 1444

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News