Anies Baswedan dan Anwar Ibrahin: Spirit Kebangkitan Bumiputera

Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Hari ini mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan PM Malaysia menjadi simbol kebangkitan bumiputera di tengah perubahan geopolitik regional dan global yang sangat dinamis.

Untuk Anies, hal itu ditunjukkan oleh sambutan gegap gempita rakyat ke mana pun ia pergi, yang mengingatkan kita pada sosok HOS Cokroaminoto dan Ir. Soekarno.

Pada hari pelantikannya sebagai gubernur, Anies mengatakan: “Dulu kita semua pribumi yang ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik bertelor, ayam yang mengerami.”

Anwar Ibrahim bahkan lebih dulu dikenal sebagai pembela bumiputera. Tak heran, ketika ditunjuk Raja Malaysia sebagai perdana menteri, bukan hanya rakyat Malaysia yang gembira, tapi juga rakyat Indonesia. Mereka melihatnya sebagai pemimpin mereka sendiri. Karena integritas dan kecakapannya memimpin, ia dilantik untuk mengatasi kebuntuan politik pasca pemilu di Negara Jiran itu.

Anies dan Anwar dilahirkan oleh lingkungan sosial-budaya yang sama, lingkungan di mana bumiputera terpinggirkan. Perjalanan karier politik mereka juga mirip. PM Malaysia Mahathir Mohamad, pembela bumiputera yang gigih, berharap suatu saat anak didiknya itu memimpin Malaysia yang multi-ras dan agama untuk membebaskan bumiputera dari kemiskinan dan kebodohan.

Sayang, mungkin lantaran populeritasnya yang menanjak cepat, ia disingkirkan dari kabinet dan dipenjarakan melalui fitnah yang keji. Upayanya untuk bangkit dihalang-halangi sampai dua puluh tahun kemudian.

Anies juga berpotensi memimpin Indonesia kelak. Karena aktivitasnya di bidang pendidikan dan kontribusinya bagi kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014, ia diangkat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.

Sayang, tak lama ia ditendang untuk alasan yang tetap jadi misteri hingga hari ini. Tapi bisa jadi benar info yang mengaitkannya dengan populeritasnya yang meningkat pesat sehingga berpotensi menjadi lawan Jokowi yang serius pada pilpres 2019. Dan hari ini, sebagaimana Anwar, ia juga sedang diusahakan untuk disingkirkan dari arena pilpres mendatang. Dus, kekuatan jahat sedang berupaya meredam spirit kebangkitan bumiputera.

Kini Anies dan Anwar berada di tengah pusaran persaingan strategis Cina-AS di Indo-Pasifik. Dalam konteks ini, posisi Indonesia sangat strategis dan instrumental. Anwar, yang dekat dengan tokoh-tokoh Indonesia — seperti B.J. Habibie dan Adi Sasono — mendukung posisi Indonesia sebagai big brother ASEAN.

Dalam posisi sebagai pemimpin ASEAN, peran Jakarta sangat menentukan dalam klaim tumpang tindih antara beberapa bangsa ASEAN (salah satunya Malaysia) dengan Cina di Laut Cina Selatan (LCS). Sementara AS, yang ingin LCS tetap menjadi kawasan maritim bebas navigasi, menantang klaim Cina atas 90 persen LCS.

Pertikaian di LCS mengancam stabilitas ASEAN. Kendati memandang perlu menjaga hubungan baik dengan Cina dan AS, Malaysia khawatir dengan sikap permisif pemerintahan Jokowi terhadap perilaku Cina yang kian agresif dan asertif di LCS. Sikap lunak ini disebabkan Jakarta butuh investasi Cina di bidang infrastruktur untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Tetapi Malaysia cemas, absennya kepemimpinan Indonesia yang tegas terhadap Cina akan berakibat pada berantakannya konsep sentralitas ASEAN. Terlebih, posisi tawar Malaysia vis a vis Cina terkait LCS akan melemah. Padahal, ketahanan politik dalam negeri Malaysia juga kurang solid karena 30 persen populasi Malaysia adalah warga Tionghoa.

Tahun ini, Indonesia menjadi ketua ASEAN. Menurut Menlu Retno LP Marsudi, di tengah tantangan dunia yang kian sulit ini, cara pandang positif, kerja sama, dan optimisme, justru semakin diperlukan.

Tetapi dalam rilis Kemenlu tentang “ASEAN Outlook on Indo-Pasific”, isu LCS, Korea Utara, Selat Taiwan, serta persaingan geopolitik AS-Cina tidak disinggung. Khususnya isu LCS yang demikian penting tetapi tidak menjadi fokus Indonesia terlihat aneh dan kian menegaskan sensitivitas Jakarta terhadap Cina. Tak heran, Beijing langsung mendukung keketuaan Indonesia di ASEAN.

Dengan begitu, kekhawatiran Malaysia terhadap kepemimpinan Indonesia mestinya meningkat. Spirit kebangkitan bumiputera, yang didefinisikan sebagai kendali ekonomi dan politik nasional dan regional berada di tangan bumiputera, akan tersubordinasi di bawah hegemoni Cina. Karena itu, masuk akal kalau Malaysia khususnya menyorot pilpres Indonesia yang tak sampai setahun lagi.

Logisnya, Anwar berharap presiden yang muncul nanti memiliki kesamaan pandangan dengan dirinya dalam berbagai isu — internal maupun eksternal — sehingga kerja sama bangsa serumpun bisa lebih produktif untuk kemajuan bumiputera.

Ia mengeluh bahwa kurangnya kekompakan kedua negara terkait kebijakan minyak kelapa sawit merugikan kedua negara, produsen minyak goreng terbesar di dunia. Juga menyangkut persaingan Jakarta-Putrajaya dalam bidang kebudayaan.

Salah satunya, Indonesia tak mendukung upaya Malaysia menjadikan Bahasa Melayu, yang identik dengan Bahasa Malaysia, sebagai bahasa internasional. Indonesia menginginkan sebaliknya, karena Bahasa Indonesia telah jauh berkembang menjadi bahasa khas Indonesia. Bahkan, menjadi salah satu unsur penting dalam nasionalisme Indonesia.

Menimbang pemikiran politik, rekam jejak, dan reputasi Anies di panggung global, cukup beralasan bagi kita untuk menduga Anwar berharap Anies ikut dan memenangi pilpres. Karena dengan demikian, duetnya dengan Anies akan memperkuat peran bumiputera di tingkat regional dan internasional.

Pada 13 Januari silam, Anies diundang Universitas Oxford, Inggris, untuk dilantik menjadi salah satu pendiri Dewan Penasihat Institut Kajian ASEAN di universitas bergengsi itu. Ini merefleksikan pengakuan Oxford akan keilmuannya.

Dalam pelantikannya, Anies diminta mempresentasikan tema Indonesia dan ASEAN. Ini menunjukkan Oxford mengandalkan otoritasnya dia dua isu ini. Hal ini tak mengejutkan karena sejak menjadi mahasiswa pasca sarjana ilmu ekonomi dan ilmu politik di AS, Anies telah menghasilkan karya tulis ilmiah di jurnal-jurnal internasional tentang dua topik itu.

Karena itu, cukup beralasan bila Anwar berharap di bawah kepemimpinan Anies, Indonesia menjadi jangkar untuk tidak membiarkan Indonesia hanyut ke pelukan Cina. Jangkar itu adalah kembalinya Indonesia ke identitas nasionalnya di mana bumiputera menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, bukan identitas oligarki yang menjadikan negara sebagai pelayan bagi kepentingan mereka sendiri. Jangkar itu adalah ketahanan nasional yang kokoh, yang hanya mungkin terwujud bila presiden Indonesia mengintegrasikan semua kekuatan politik nasional ke dalam persatuan rakyat yang hakiki, bukan memainkan politik belah bambu, menginjak sebagian bumiputera sambil mengangkat sebagian lainnya hanya demi mempertahankan kekuasaan yang dikendalikan oligarki.

Anies memiliki track record mengharmoniskan warga Jakarta yang multi-ras, agama, dan etnik. Terintegrasinya semua kekuatan politik bumiputera ke dalam pemerintahan akan mengembalikan Indonesia sebagai negara di Indo-Pasifik yang khas, yang perannya sebagai stabilisator kawasan, khususnya ASEAN, akan lebih efektif.

Dengan kata kain, ambisi Cina — juga AS — mengendalikan ASEAN tidak akan berhasil sepanjang Indonesia hadir dengan identitas aslinya. Dulu, Anwar sempat senang ketika duet BJ Habibie-Adi Sasono memimpin kebangkitan bumiputera di Indonesia.

Sayang kegembiraan itu berakhir cepat ketika oligarki mengambil alih kekuasaan pasca gerakan reformasi 1998. Malaysia di bawah PM Najib Razak yang pro-oligarki juga mengalami kemunduran.

Kini, dengan kekuasaan di tangan, Anwar punya kesempatan untuk menghadirkan keadilan bagi bumiputera. Rakyat Indonesia tentunya juga berharap Anies, yang pada dirinya bersemayam spirit Cokroaminoto dan Soekarno, menuntun bangsanya di jalan yang sudah ditakdirkan untuk Indonesia.

Orang Malaysia sudah menyadari pentingnya pemerintah dipimpin oleh pemimpin yang otentik. Karena itulah, berdasarkan petimbangan pentingnya persatuan nasional dan kapasitas leadership, Raja Malaysia menunjuk Seri Datuk Anwar Ibrahim — pemimpin Partai Keadilan Rakyat — memimpin Malaysia. Sama seperti Anies yang pro-perubahan, Anwar menjanjikan reformasi pemerintahan untuk kejayaan bumiputera.

Anwar merasa sangat dekat secara emosional dengan Indonesia. Mungkin Negeri Jiran ini belum pernah memiliki perdana menteri yang bersimpati pada Indonesia melebihi Anwar. Tak heran, begitu terpilih negara pertama yang dia kunjungi adalah Indonesia. Dan tegas berjanji akan menyelesaikan berbagai isu, termasuk isu TKI di Malaysia yang sudah lama jadi keprihatinan Indonesia.

Memang TKI merupakan unsur strategis dan instrumental dalam pembangunan ekonomi Malaysia. Tak kurang penting, di mata Anwar, penyelesaian isu ini akan kian mengeratkan hubungan Indonesia-Malaysia yang sensitif akibat pengalaman historis yang melukai jiwa kedua bangsa pasca Presiden Soekarno meluncurkan kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia. Anwar nampak berhasrat menguburkan sejarah kelam itu demi makin memberdayakan bumiputera di internal maupun regional melalui kerja sama dengan saudara tuanya.

Toh juga Indonesia adalah negara dengan besaran ekonomi terbesar di ASEAN yang kelas menengahnya terus bertumbuh yang akan ikut menghela ekonomi Malaysia. Tak kurang penting, persahabatan yang tulus dan bermakna kedua bangsa akan meningkatkan kekuatan Malaysia dalam percaturan geopolitiknya di LCS.

Kendati, berbeda generasi, keduanya datang dari dunia yang sama, yang prihatin melihat keterbelakangan bumiputera. Secara tepat keduanya melihat faktor pendidikan merupakan kunci mengatasi dekadensi peradaban bumiputera.

Maka, ketika Anies membangun “Gerakan Indonesia Mengajar, Anwar mendirikan “Yayasan Anda Akademik”. Selanjutnya, Anwar dan rekan-rekannya mendirikan sekolah swasta yang bertujuan memberikan peluang dan pemerataan pendidikan bagi bumiputera. Sedangkan Anies menjadi rektor Universitas Paramadina.

Anies dan Anwar sama-sama menerima sederet penghargaan untuk semua pengabdian bagi kemajuan, kesejahteraan, kebebasan, keadilan, dan kerukunan masyarakat mereka dan dunia.

Anwar sudah lebih setahun lalu menjadi perdana menteri setelah melalui perjuangan politik yang panjang. Ia percaya, politik harus dimasuki kaum bumiputera untuk ikut menentukan jalan sejarah bangsanya. Kalau tidak, bumiputera hanya akan jadi mainan politik kekuatan lain.

Apakah Anies akan mengikuti jejak seniornya di Malaysia menjadi orang nomor satu di negaranya? Wallahu’alam. Tapi bila ditakdirkan mengganti Jokowi, kinerja bumiputera di dalam negeri dan di ASEAN khususnya akan semakin berdaya.

Memang sudah saatnya spirit bumiputera yang sudah tenggelam oleh hiruk-pikuk globalisasi dan kekuatan oligarki dihidupkan kembali. Bukan untuk menindas kelompok lain, siapa pun itu, melainkan sekadar menghadirkan keadilan bagi mereka yang dulu berjuang dengan darah dan air mata untuk kemerdekaan negeri.

Tangsel, 27 Februari 2023

Simak berita dan artikel lainnya di Google News