Oleh: Eko S Dananjaya (Aktivis Era 80-an, Alumni Fisipol UMY)
Bukan Rizal Ramli jika tidak aktif mengkritisi situasi keadaan. Saya mengenal Bang Rizal Ramli jauh sebelum terjadi reformasi. Kami anak-anak muda suka diundang ke rumah lamanya di bilangan Jalan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Diajaknya makan bersama dan diskusi mengenai seputar ekonomi, politik Indonesia.
Dari sejak dirinya menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sampai menjadi pejabat, gaya personalisasinya tidak berubah. Meskipun Rizal Ramli pernah beberapa kali menjadi pejabat/mentri. Tidak sedikitpun surut sikap dan keteguhan untuk berpikir tentang nasib rakyat. Dia bukan saja sebagai savior king of the economic crisis. Tapi, pikiran-pikirannya nya jauh melebih kecepatan tindakannya untuk menyelesaikan krisis ekonomi.
Terbukti saat pemerintahan Gusdur. Ia ditunjuk sebagai menko ekuin dan berhasil menstabilkan perekonomian Indonesia. Aras pemikiran begawan ekonomi Rizal Ramli, dengan tegas dan jelas menolak sistem kapitalistik dan oligarkisme ke dalam lingkaran kekuasaan.
Implementasi dan penjabaran siasat ekonomi Rizal Ramli justru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 yakni : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Implementasi inilah yang seharusnya dipakai sebagai dasar ekonomi untuk mensejahterakan kehidupan rakyat. Berbeda dengan keadaan situasi hari ini. “Perekonomian disusun berdasar atas azas oligarki dan kapitalistik individual”.
Betapa hancurnya negeri ini, ketika pemerintah menjalankan pembangunan infrastrukrur dengan mengemis bantuan asing. Sedang kompensasi pembayaran hutang ke luar negri dibayar dengan eksploitasi sumber daya alam yang ugal- ugalan. Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan pungutan pajak yang tidak pro rakyat. Pemiskinan rakyat menjadi masif dan investasi asing tentang bahan2 lunak sebagian sudah pergi meninggalkan Indonesia. Penghisapan peluh rakyat secara terang2 an oleh penguasa, ibarat pasukan lebah madu yang harus pergi mengumpulkan kapital untuk sang raja lebah.
Fenomena jaringan ekonomi lebah membuat rakyat bekerja setiap waktu tapi tidak mendapatkan upah kerja yang sepadan. Bahkan, aturan kerja buruh di siasati oleh pemerintah untuk membela pemilik modal. Sedang buruh/pekerja semakin terhimpit oleh aturan yang dimainkan oleh pemerintah atasa dasar keingina pengusaha. Ini yang disebut pemerintah tidak membela kepentingan buruh tapi justru sebaliknya, mempreteli hak-hak buruh. Sistem ini yang dinamakan penganut oligarkis .
Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja yang harapannya dapat mensejahterakan kaum pekerja, justru menjadi tidak efektif ketika perpu yang dikeluarkan Presiden menjadikan peraturan sebelumnya teranulir dan menon- jastifikasi undang-undang Omnibuslaw itu sendiri.
Mengapa presiden mengeluarkan Perpu No 2 thn 2022 tentang UU Cipta kerja? Bukankah itu bentuk kudeta konstitusi ? Presiden Jokowi telah mengkhianati produk undang-undang yang disahkan sendiri. Tragedi penegakkan hukum yang luar biasa. Karena, presiden mengeluarkan perpu secara sepihak dan tidak diuji dulu secara yuridis di lembaga Mahkamah Konstitusi.
Dari banyak pihak dan pakar hukum telah mempermasalahkan keluarnya perpu omnibus law undang-undang cipta kerja. Satu diantaranya Rizal. Ramli yang mempersoalkan, mengapa Mahdud MD melakukan pembenaran terhadap dikeluarkan perpu Omnibuslaw undang-undang cipta kerja?
Keintelektualannya Mahfud dibidang hukum menjadi bias manakala produk perpu tersebut dijadikan “alat politik, melainkan bukan untuk kebutuhan undang2 mengatur agar kesejahteraan buruh lebih baik “.
Jastifikasi politik terhadap produk hukum akan membawa malapetaka pada kesejahteraan buruh dan masyarakat. Sebab, hukum tidak lagi sebagai alat kontrol pada kekuasaan, tapi justru menjadi perisai penguasa untuk menghalalkan kemauannya. Katakan perpu itu sebagai vaksinasi pencegahan virus kaum kritis buat membungkam pikiran2 yang Radikal terhadap pemerintah.
Jadi, cita-cita pendiri bangsa yang dengan susah payah berpikir keras untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan ekonomi. Kini justru tidak tampak, bahwa kesejahteraan ekonomi pada rakyat itu hadir. Pemerintah lebih membela pengusaha, dengan demikian para pekerja sampai kapanpun akan menjadi pasukan lebah yang setiap waktu bekerja untuk mengumpulkan hasilnya tapi jauh dari kesejahteraan. Mereka bukan saja diperas upahnya, gajinya tapi diperas melalui aturan perburuhan.
Produk hukum yang tidak berpihak pada rakyat akan menghasilkan ketidakpastian dalam kesejahteraan sebagaimana cita2 faunding fathers kita. Yang terjadi sekarang adalah pembenaran2 penguasa dengan produk hukum sebagai tamengnya untuk kelanggengan kekuasaannya.
Jadi pasal 33 undang-undang dasar 1945 tidak jauh sekedar menjadi pajangan atau hiasan dinding. Dan perpu terbitan presiden sebagai acuan perundang-undangan yang justru menjadi tonggak dasar pelaksanaan govermenisasi yang saling bertabrakan. Mengkudeta undang-undang yang diproduksi sebelumnya.
Rizal Ramli mengingatkan bahwa bernegara perlu menggunakan kaidah hukum yang benar. Hukum dipakai bukan buat pembenaran produk kekuasaan yang salah.