Perppu Cipta Kerja (Ciptaker) yang dianggap melanggar konstitusi bisa menjadi pintu masuk masuk pemakzulan Joko Widodo (Jokowi).
“Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” kata Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (4/1/2023).
Kalau mayoritas anggota DPR siap, kata Jimly, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment tersebut.
Di sisi lain, Jimly juga bicara soal kemungkinan Perpu Cipta Kerja tersebut memang sengaja terbit untuk menjerumuskan Jokowi untuk diberhentikan di tengah jalan.
Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perpu Cipta Kerja ini, kata Jimly, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perpu Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
“Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya,” kata Jimly.
Oleh sebab itu, Ia menyarankan semua pihak kembali setia dan tidak mengkhianati norma tertinggi yang sudah disepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Sebelumnya, anggota DPD asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha juga menyatakan penerbitan Perpu Cipta Kerja bisa berujung pada pemakzulan Jokowi. Sebab, Perpu Ciptaker disusun dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian, kepentingan yang obyektif, pelibatan rakyat, hingga rasionalisasi yang bertanggung jawab terhadap putusan MK.
“Dengan adanya syarat-syarat pemakzulan, jika ada sebuah pelanggaran secara konstitusi, tentunya pemakzulan bisa saja dilakukan,” kata Abdul kepada Tempo, Senin (2/1/2023) dikutip dari Tempo.
Adapun aturan ihwal pemakzulan Presiden tertuang dalam UUD 1945 pasal 7A-7C. Aturan ini menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Abdul mengatakan penerbitan Perpu Cipta Kerja menunjukkan bahwa tanda-tanda otoritarianisme dalam kemasan peraturan perundang-undangan makin nyata. Penerbitan beleid ini juga dinilai Abdul ugal-ugalan serta membahayakan kehidupan berundang-undang di Indonesia. Ia menyebut penerbitan Perpu Cipta Kerja ibarat bunyi gong yang menandai masuknya Indonesia ke situasi krisis legislasi sekaligus krisis demokrasi.
Menurut dia, DPR mestinya segera mengakhiri masa reses untuk meninjau pemakzulan terhadap Presiden. Kendati demikian, Abdul ragu jika DPR berani memakzulkan Presiden. Pasalnya, koalisi pemerintah di DPR sangat gemuk.
“Kalau persoalan alasan pemakzulan, bisa saja. Ada pelanggaran terhadap roda pemerintahan. Dalam hal menjalankan fungsi dan kewenangannya, jika tidak sesuai bisa saja (DPR memakzulkan). Tapi apakah berani? Koalisi saat ini sangat besar,” ujarnya.
Di sisi lain, kewenangan DPD disebut Abdul tetap sengaja dimandulkan. Jika DPD punya kewenangan lebih, maka Abdul bakal menginisiasi pemakzulan Presiden.
“Andai DPD punya kewenangan lebih, percayalah, saya, Abdul Rachman Thaha, yang akan mengambil inisiatif pemakzulan itu,” kata dia.
Oleh sebab itu, Abdul menyarankan seluruh pimpinan DPD untuk datang ke Istana. Tujuannya, memperingatkan Presiden Jokowi soal preseden buruk yang dihasilkan dari penerbitan Perpu Cipta Kerja.
“Presiden harus melaksanakan putusan MK dengan langkah-langkah substantif dan bertanggung jawab,” kata dia.