Disampaikan Oleh *Yusuf Blegur*
Nasib NKRI sangat ditentukan dan dipertaruhkan oleh demokrasi. Sebuah tata cara mengelola kedaulatan rakyat yang tak pernah berujung pada negara kesejahteraan. Rakyat benar-benar tak pernah menikmati demokrasi yang sesungguhnya. Dalam pelaksanaannya dan bahkan apakah ia menjadi satu sistem yang tepat, terus dipertanyakan dan digugat sepanjang sejarah penyelenggaraan negara.
Demokrasi di Indonesia cenderung disepakati lebih karena mengakomodasi pluralitas, bukan sebagai sistem nilai bagi sebuah kehidupan komunal atau pada sebuah negara. Pelaksanaan demokrasi di negara yang begitu bhinneka dan majemuk seperti di Indonesia, nyaris hanya membahas lalu lintas sosial politik masyarakatnya. Dinamika yang muncul lebih dominan pada ruang eksistensi, status sosial dan penguasaan orang dan kelompok tertentu kepada orang dan kelompok lainnya. Seiring waktu, demokrasi gagal mengentaskan tradisi feodal dan kolonial. Demokrasi pada contohnya di Indonesia, sering abai dalam mengatur perjalanan bersama dalam mencapai tujuan bersama sebagai sebuah negara bangsa.
Sebagai produk peradaban barat, demokrasi yang dipaksa dan dikembangkan pada habitat populasi dunia. Wajah demokrasi selalu menampilkan pesona yang menjanjikan, menawarkan kebaikan dan digembar-gemborkan sebagai solusi persoalan umat manusia. Akan tetapi secara esensi dan substansi, demokrasi secara perlahan dan pasti menunjukkan watak aslinya sebagai sub-koordinat kapitalisme global. Ada hegemoni para pemilik modal besar dalam wujud korporasi dan elit partai politik yang menguasai proses kedaulatan rakyat. Tak bisa menghindari rekayasa dan pembajakan konstitusi, demokrasi tak bisa lepas dari oligarki.
Demokrasi membawa semangat dan pesan-pesan materialistik, mengusung liberalisasi dan sekulerisasi. Dalam wujud apapun mulai dari lingkungan terkecil hingga pada kontes panggung besar yang beririsan dengan kepentingan publik. Demokrasi melacur, mulai memainkan peran kamuflase dan manipulatif. Dari pemilihan ketua RT, pimpinan ormas, ketua partai politik dan jabatan birokrasi hingga presiden, semua tak lepas dari tawar-menawar dan transaksional. Ada harga ada jabatan, ada kekuasaan ada kekayaan dan kehormatan. Hanya ada nama pseudo demokrasi jika enggan disebut demokrasi pesakitan.
Sepanjang perjalanan demokrasi berlangsung, sepanjang itupula mengalami kontraksi. Terlalu sering mengalami goncangan, pendarahan dan kematian bagi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Jarang melahirkan sistem nilai dan manusia (perform) yang menjadi row model bagi tatanan masyarakat yang berkeadaban. Alih-alih mendatangkan kemaslahatan, industri aspirasi yang mengusung negara kesejahteraan dengan kampanye adil dan makmur itu, justru terus masif menuju kemunduran peradaban manusia. Demokrasi selain disanjung dan dipuja oleh kultur barat, ia juga dianggap menjadi pengingkaran religi, seperti Islam. Sangat kentara, demokratisasi yang berdampingan dengan penerapan konsep HAM, lingkungan dan perubahan iklim, perlawanan terhadap terorisme dan narkoba, kampanye LGBT dan seks bebas, dlsb., sejatinya menjadi upaya menegasikan dan mengaburkan Islam dan syariatnya yang menawarkan kepastian keteraturan, disiplin dan pelbagai sistem sosial dan hukum bagi kemaslahatan seluruh alam dan manusia. Agitasi dan propaganda Kapitalisme dan juga komunisme global, pada intinya diadakan untuk mereduksi atau jika perlu meniadakan Islam di muka bumi.
Oleh karena itu, kebuntuan, keputus-asaan dan rasa frustasi akan terus membayangi populasi dunia yang gandrung pada kebebasan tanpa batas dan orientasi materi. Fenomena atheis dan eksistensi kebendaan yang kuat melekat pada masyarakat barat, kini berangsur-angsur mencari nilai-nilai. Kapitalisme dan komunisme seiring waktu terus mengalami kejumudan, mulai memburu spiritualitas, hakekat Ketuhanan dan kemanusiannya. Menumpang pada budaya olah raga, sebagian besar representasi internasional berkesempatan menikmati keramah-tamahan, keindahan dan kebaikan Islam. Melalui Piala Dunia Qatar, Islam berhasil menularkan pemahaman tentang religi yang mampu membawa keberadaban spritual tanpa harus kontradiksi dengan modernitas dan termasuk keyakinan demokrasi versi barat itu. Qatar membingkai pesta sepak bola paling akbar sejagat itu, dengan mendeklarasikan kebaikan Islam sebagai solusi problematika peradaban manusia. Tanpa harus larut dalam kecemasan dan ketakutan pada kontraksi demokrasi yang tak berujung pada negara kesejahteraan, serta upaya menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, juga dunia.
*Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.*
*Bekasi Kota Patriot.*
*25 Desember 2022/1 Jumadil Akhir 1444 H.*