Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Mendengar sang Presiden akan ngunduh mantu, semua masyarakat, khususnya masyarakat Sala pasti gembira dan sebagai rakyat akan mengirim doa terbaiknya. Semoga semua lancar dan aman “lir ing sambekala”
Banyak tempat yang memadai apalagi dalam kapasitas sebagai Presiden tinggal pilih tempat yang luas dan seindah mungkin untuk perhelatan ngunduh mantu, sebagai penghormatan menerima tamu tamu agung yang akan datang di perhelatan tersebut.
Tidak ada mendung dan hujan tiba tiba terdengar Joko Widodo akan menggunakan “Pura Mangkunegara sebagai tempat hajatnya”.
Sontak bagi para Budayanya dan sesepuh dan pinisepuh adat Jawa yang masih lekat dan terikat dengan budaya adiluhung Jawa , spontan terbelalak. Bergumam dan bertanya “apa benar akan menggunakan Pura Mangkunegaran ..?”
Para budayawan tak kalah kaget dan langsung bereaksi mencari kebenaran info tersebut, dan konon ternyata benar.
Mereka semua mengelus dadanya, ini ada yang tidak beres dengan Joko Widodo ( JW ) :
– Apakah JW tidak paham bahwa Pura Mangkunegaran adalah Pendhapa Ageng Mangkunegaran funhsinya hanya untuk Sasana Sewaka Keraton.
– Pemanfaatannya hanya untuk kegiatan resmi keraton.
– Sasana Sewaka Keraton Surakarta tidak boleh digunakan kegiatan lain, selain seremoni adat-tradisi resmi kerajaan.
– Keberadaannya sebagai institusi (cagar) budaya, harus dijaga kesakralan dan wibawanya
Hajat pernikahan merupakan urusan ranah pribadi. Dari itu ngundhuh mantu tidak selayaknya diselenggarakan di Pendhapa Ageng Mangkunegaran yang statusnya secara historis-kultural merupakan Istana Kerajaan.
Sejauh pengetahuan belum pernah terjadi Istana Pura Mangkunegaran dipakai untuk resepsi mantenan atau ngunduh mantu.
Jokowi saat ini berkedudukan atau menjabat sebagai Presiden. Namun dalam kontek sosio-historis-kultural terkait dengan eksistensi Pura Mangkunegaran, “Jokowi selaku pribadi statusnya adalah sebagai kawula atau rakyat biasa”.
Kaduk wani kurang duga adalah terlalu berani kurang perhitungan. Ojo dumeh sekarang jadi Presiden seenak melanggar paugeran kraton
Yang bestatus Raja atau Adipati saja tidak boleh seenaknya menggunakan fasilitas Pendhapa Ageng untuk urusan pribadi, apalagi orang yang berkedudukan sebagai rakyat biasa.
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, penerus tahta Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X.
Baru berusia 25 tahun dan masih melajang, Bhre Cakrahutomo sudah diberi tugas berat sebagai Mangkunegara X untuk mengurus Pura Mangkunegara Solo.
Konon telah mengijinkan penggunaan Pura Mangkunegaran untuk hajat Joko Widodo. Dengan mudahnya mengijinkan Pendhapa Ageng Mangkunegaran dipakai untuk ngundhuh mantu Kaesang.
Diduga kuat ijin diberikan sekalipun harus melanggar etika dan paugeran kraton karena tekanan dari Joko Widodo dan Bhre Cakrahutomo, tidak kuasa untuk menolaknya.
Karena sembari mengurus Pura Mangkunegara, Bhre Cakrahutomo juga menjalani kesibukan baru setelah ditunjuk sebagai komisaris PT KAI.
“Terima kasih kepada Bapak Menteri BUMN dan jajaran atas kepercayaan dan amanah yang diberikan kepada saya,” ujar Mangkunegara X dikutip antara pada Rabu (17/8).
Sebaiknya Joko Widodo memiliki kepekaan “Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso”, yang berarti ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’ adalah sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan karena saat memiliki kuasa sebagai Presiden, seenaknya melakukan pelanggaran adat dan etika kraton seenaknya
Batalkan rencana ngunduh mantu di Pura Mangkunegaran, jangan sampai Joko Widodo kena stigma Jokowi – Wong Jawa Ilang Jawane.