Anies, NU dan Jawa

By: Abdurrahman Syebubakar & Smith Alhadar

SESUNGGUHNYA, identitas Anies berlapis-lapis. Ia seorang Jawa, Muslim moderat, nasionalis, dan kosmopolit. Ketika berada di lingkungan Jawa, secara kultural Anies adalah seorang Jawa. Saat berada di tengah kaum Muslimin, ia seorang Muslim moderat yang menerima dengan tulus budaya lokal sebagai nilai-nilai yang inheren dalam keberislaman di Indonesia. Dengan kata lain, Anies memaklumi konsep Islam kontekstual atau pribumisasi Islam yang disodorkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Artinya, pada sosoknya berhimpun nilai-nilai Islam lokal dan universal sekaligus, terbebas dari sektarianisme dalam Islamic sphere. Bahkan, orang bisa menemukan Islam tradisional atau Islam ahl sunnah waljamaah khas NU dalam pandangan dan sikap keislamannya.

Keindonesiaannya justru lebih menonjol. Ia adalah representasi warga bangsa masa kini, sosok yang lahir dari Indonesia modern yang tak dapat dipisahkan dari dinamika perkembangan global di mana Indonesia telah terintegrasi ke dalamnya. Pembagian masyarakat Indonesia masa kini ke dalam dua kubu – nasionalis dan Islamis, secara tajam tidak lagi relevan. Secara kultural, sosial, dan politik, Indonesia makin cair. Kian banyak orang Jawa, yang dulu dikelompokkan antroplog Clifford Geertz sebagai kaum abangan, secara intensif telah mengadopsi nilai-nilai Islam. Juga, pasca Nurcholish Majid (Cak Nur) mencetuskan slogan: “Islam Yes, Partai Islam No”, di mana politik bukan wilayah sakral yang mengharuskan kaum Muslim memilih parpol berbasis agama dalam politik elektoral, banyak orang Islam bermigrasi ke wilayah kultural dan memiliki preferensi politik yang beragam. Itu terlihat dari kecilnya perolehan suara parpol berbasis massa Islam dibandingkan dengan parpol-parpol nasionalis. Bahkan, sebagian Muslim dari keluarga santri justru sangat anti populisme Islam.

Di antara benturan budaya, sosial, dan politik di kalangan masyarakat Indonesia era sekarang, Anies muncul sebagai sosok yang mempersatukan semua itu karena ia memang lahir dari rahim Indonesia. Dari keluarga, ia mendapatkan nilai-nilai nasionalis-relijius. Dari perjumpaannya dengan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia saat kuliah di UGM, selain dengan membaca banyak buku tentang sejarah Indonesia, memperluas wawasannya tentang kebangsaan Indonesia. Sedangkan pemahaman dan penghayatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal diperoleh ketika ia kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat. Bahkan, ia telah bergaul dengan siswa-siswa dari segala bangsa saat menghabiskan satu tahun bersekolah di SMA di AS. Sehingga, Anies menjadi titik temu berbagai pemikiran politik dan budaya sekuler maupun relijius orang-orang Indonesia. Ia juga menjadi juru bicara Indonesia dan Dunia Islam yang otentik bagi komunitas Internasional.

Anies memang telah menginternalisasi banyak nilai luhur yang dihasilkan budaya-budaya utama dunia. Dari situ terbentuk karakter intelektual, karakter moral, dan karakter kinerja-nya. Juga hasratnya belajar yang tak dapat dihentikan. Pemikiran dan sikap Anies yang melampaui primordialisme apa pun terlihat dari kepemimpinannya di Jakarta. Pemikirannya selalu kreatif dan fundamental dalam mengembangkan ibu kota di mana tujuan memanusiakan manusia menempati titik sentral. Ia menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga tanpa kecuali, tanpa membedakan satu dengan yang lain berdasarkan primordialisme. Dalam sikap, ia sangat tegas, tapi demokratis dan toleran dalam berinteraksi dengan semua golongan. Sangat bijaksana menghadapi lawan-lawannya, termasuk para influencer dan buzzer. Karakter seperti ini tidak kita temukan pada sosok-sosok pemimpin Indonesia masa kini yang umumnya mengalami defisit moral, nir kepemimpinan otentik, dan tak punya pemahaman yang mendalam tentang Indonesia itu sendiri.

Di luar itu, Anies adalah manusia kosmopolitan sebagai hasil pergulatan pemikirannya dengan ideologi-ideologi besar dunia dan pengalaman hidupnya sendiri. Itu sebabnya, kendati jauh dari Barat secara geografis, Anies disegani karena ia berbagi perspektif demokrasi dan HAM dengan mereka. Terlebih, sistem otoritarianisme RRC yang sedang dilirik dunia ketiga yang repot berurusan dengan demokrasi dan HAM. Sedangkan negara-negara Timur Tengah menaruh harapan besar padanya untuk mempromosikan pemikiran Islam moderat ke panggung internasional saat Islam di kawasan itu terlanjur dicap sebagai kekuatan destruktif bagi perkembangan peradaban dunia. Peran ini juga yang (ingin) dimainkan NU di pentas global.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News