Rezim dan DPR merupakan ancaman nyata bagi negara karena telah merusak konstitusi negara dengan mengamandemen UUD 45.
“Ancaman tersebut justru datang dari rezim bersama kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat atas remot kaum kapitalis Oligarki yang telah berkali kali mengamandemen UUD 45 menjadi UUD 2002,” kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (4/11/2022).
Rezim dan DPR menjadi ancaman nyata bagi negara karena mengganti UUD 45 dengan UUD 2002.
“Kekuatan itulah yang saat ini riil telah mengganti UUD 45 menjadi UUD 2002. Tiba tiba urusannya melesat jauh ke sial radikalisme, teroris, khilafah dam politik identitas,” jelas Sutoyo.
Terkait pemberantasan tindak pidana terorisme, kata Sutoyo, pihak penguasa berulang kali menggunakan diksi “radikalisasi”. Tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya.
Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya.
“Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya,” jelasnya.
Menurut Sutoyo, terlalu banyak analisa kalau persoalan radikalisme -terorisme hanya merupakan sebuah proyek, antara lain oleh mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dikutip beberapa media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka.
Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga di sampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), K.H. Hasyim Muzadi ( sebelum beliau meninggal dunia ) Secara tersirat menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme- terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek—proyek yang permanen sifatnya.
“Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono. Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia, seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012)”
Membaca narasi soal radikalisme -terorisme memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka?
Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, menurut Sutoyo, yang jelas program ini sasaran dan korbannya kepada umat Islam.
Wajar Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia atau menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia
“Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din.
Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap radikalisme- terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme sebagai kedoknya.
“Untuk umat islam mereka membaginya menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis 2) Muslim Tradisionalis 3) Muslim moderat (liberal) 4) Muslim Sekuler. Dengan adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan pihak yang berkepentingan dalam memecah belah umat islam atau politik devide et empera,” tegasnya.
Melalui skema pembagian ini dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan satu dengan lainnya. Sehingga tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera.
“Selain mengandung nuansa proyek yang merugikan kepentingan umat islam, isu radikalisme dan terorisme juga dicurigai mengandung misi terselubung yang merugikan bukan hanya umat islam tapi bangsa Indonesia pada umumnya,” pungkasnya.