Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democarcy Education (IDe)
Invasi Rusia ke Ukraina mengubah geopolitik global secara mendasar. Negara-negara Timur Tengah pun mencari keseimbangan baru di antara dua poros yang berkompetisi: NATO-AS Versus Rusia-Cina. NATO berusaha mempertahankan status quo, sementara Rusia-Cina bertekad mengakhiri hegemoni Barat.
Pada awal bulan ini, negara-negara pengekspor minyak OPEC bersama Rusia dan aliansinya (OPEC+) memotong produksinya hingga 2 juta bph untuk menjaga harga minyak dunia tetap tinggi. Ini menguntungkan Rusia saat NATO berusaha melemahkan kemampuan perang Moskow. Tak heran, Presiden Joe Biden mengecam Arab Saudi, anggota utama OPEC, dan berjanji akan meninjau ulang hubungan Washington-Riyadh.
Bagaimanapun, langkah Saudi dibela seluruh anggota OPEC+. Turki bahkan mengecam AS yang dituduh mem-bully Saudi. Ancaman Biden tak mempengaruhi posisi Saudi. Saudi dan Mesir malah menyatakan akan bergabung dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) mengikuti langkah Turki dan Iran. Saudi, Turki, dan Mesir adalah sekutu AS di Timur Tengah. Dengan demikian, langkah mereka menampar AS. BRICS dipelopori Rusia dan Cina untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada institusi keuangan Barat, seperti IMF dan Bank Dunia.
Kini BRICS memiliki US$ 50 M dan sebagian telah disalurkan ke negara berkembang. Bergabungnya Saudi, Mesir, Turki, dan Iran akan membuat sumber daya organisasi itu kian besar. Sebelumnya, Turki dan Iran melamar menjadi anggota Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) — terdiri dari negara-negara Asia Tengah, India, Pakistan, Rusia, dan Cina — yang dipelopori Rusia dan Cina untuk menandingi Uni Eropa. Dalam KTT SCO di Samarkand, Uzbekistan, bulan lalu yang juga dihadiri Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan tujuan perang Ukraina adalah menciptakan tatanan dunia yang multipolar.
Kebijakan Saudi, Mesir, Iran, dan Turki menunjukkan respons mereka atas melemahnya kekuatan Barat. Maka, ada kebutuhan mereka memperluas akses ekonomi dan politik ke berbagai penjuru dunia sebagai kompensasi atas merosotnya pengaruh ekonomi dan politik Barat akibat pandemi covid-19 dan diperburuk oleh dampak perang Ukraina. Bagaimana Indonesia menjawab perubahan geopolitik global ini?
Harus diakui, perang Ukraina telah juga memukul ekonomi Indonesia setelah sebelumnya menghadapi pandemi covid-19. Diprediksi tahun depan dunia akan memasuki resesi. Pada gilirannya, pelemahan ekonomi nasional akan berdampak negatif pada semua lini kehidupan. Dalam konteks ini, pilpres 2024 sangat krusial, yang akan merupakan jawaban bangsa terhadap tantangan internal dan eksternal yang dihadapi. Maka, presiden baru pengganti Jokowi haruslah pemimpin yang extraordinary, terutama yang memiliki pemahaman holistik terhadap perubahan dunia yang dinamis, yang sedang mencari bentuk keseimbangan baru.
Timur Tengah akan muncul sebagai kekuatan baru karena ketergantungan Barat pada energi mereka kian besar. Pada saat bersamaan, kemampuan ekonomi Barat untuk membantu puluhan negara miskin dan berkembang kian terbatas. Sebaliknya, BRICS, SCO, dan negara-negara Arab kaya akan makin instrumental dalam pembenahan dunia. Tetapi Indonesia tak dapat memanfaatkannya bila presiden baru tak memahami dan karena itu tak mampu mengkapitalisasi dinamika geopolitik dunia yang berubah, khususnnya dinamika kawasan Timur Tengah.
Dari semua aspiran capres yang diprediksi akan bertarung dalam pilpres 2024, hanya Anies Baswedan — yang secara teoritis dan praksis — memiliki kapasitas untuk mengemudi bahtera Indonesia saat menghadapi badai di samudera yang bergelombang. Hal itu telah ia buktikan saat memimpin Jakarta yang majemuk dari berbagai aspek. Ia bahkan membuktikan diri sebagai diplomat ulung. Kecerdasan politik dan kemampuan menjalankan diplomasi-lah yang memungkinkan program pembangunan Jakarta yang terkait dengan kerja sama dengan pihak luar memperoleh keberhasilan yang mengagumkan.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dari sisi populasi seharusnya memiliki modal politik yang cukup untuk dimainkan di Timur Tengah untuk mendapat manfaat maksimal dari kawasan itu, baik ekonomi maupun politik. Sejauh ini, hubungan dagang dan ekonomi Indonesia-Timteng masih sangat jauh dari kemampuan yang dimiliki keduanya. Negara-negara Arab kaya lebih memilih berinvestasi di AS dan Eropa — belakangan di Rusia dan Cina juga — karena ketiadaan informasi yang cukup tentang kapasitas ekonomi dan lemahnya diplomasi kita. Kini, setelah dunia berubah, akses kita untuk itu membesar kalau kita pandai mengapitalisasinya.
Politik luar negeri kita yang tidak produktif disebabkan Jokowi tak memberi perhatian pada geopolitik global. Mungkin sekali karena ia tak memahaminya. Hal ini membuat pemenuhan kepentingan nasional yang mestinya disumbangkan oleh kebijakan politik luar negeri yang efektif tak kita peroleh. Bukankah politik luar negeri merupakan kepanjangan tangan politik dalam negeri? Melihat Anies yang selalu mampu menyediakan jawaban yang berbobot untuk setiap tantangan yang dihadapi — karena memiliki pengetahuan dan wawasan luas, serta kapasitas leadership — cukup alasan bagi kita untuk berharap padanya merancang politik luar negeri yang kreatif, kendati tetap pada koridor politik bebas aktif sesuai amanat konstitusi, demi kepentingan bangsa. Untuk konteks Timur Tengah, Anies akan terlihat figur yang familiar dengan budaya kawasan itu. Dan, sebagai seorang doktor ilmu politik yang mumpuni, sangat mungkin dia pun sangat memahami jeroan Timur Tengah. Sebagai orang yang sangat peka pada kepentingan dan reaksi luas publik nasional terkait petistiwa-peristiwa yang terjadi diTimur Tengah, nyaris mustahil ia tidak memberi perhatian khusus pada kawasan paling vital sekaligus paling volatile di dunia itu. Karena itu, seandainya Anies ditakdirkan untuk memimpin Indonesia, kiranya tak berlebihan kalau kita menaruh harapan padanya untuk mengeksplotasi potensi-potensi ekonomi dan politik Timur Tengah untuk kepentingan nasional saat pemerintahan Jokowi akan mewariskan banyak masalah yang kompleks dan serius, terutama masalah utang luar negeri yang terus membengkak, yang melemahkan kapasitas bangsa secara keseluruhan.
Tangsel, 25 Oktober 2022