Guru Besar Undip: Negara Hukum Berubah Jadi Negara Polisi

Indonesia bisa menjadi negara polisi jika korps berbaju coklat menjadi alat pemerintah untuk mewujudkan kejahatan politiknya.

“Jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan “kejahatan-kejahatan politiknya”, maka di saat itulah negara ini telah menjadi Police State (negara polisi). Kita tentu tidak menghendaki keadaan yang demikian terjadi di negeri ini,” kata Guru Besar Undip Prof Suteki dalam artikel berjudul “Bengis! Negara Hukum Berubah Jadi Negara Polisi”

Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang industri hukum yang sempat viral seperti yang disebutkan oleh Menkopolhukam. “Saya kemudian berkhayal mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice?” tanya Suteki.

Kata Suteki, industri hukum dapat terjadi di semua lini penegakan hukum ketika setiap lini tersebut berupaya memperjualbelikan kebenaran dan keadilan. Sanksi pidana mungkin juga tidak mempan, maka kata kuncinya adalah akhlak

“Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang boleh, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan. Kita tidak ingin rechtsstaat (negara hukum) berubah menjadi police state (negara polisi) karena hanya akan melahirkan industri hukum yang bengis,” tegas Suteki.

Suteki mengatakan, peristiwa hukum akhir-akhir ini, banyak oknum polisi yang justru terlibat dalam tindak kejahatan atau juga dikenal criminals in uniform hampir terjadi di semua lini kehidupan.

“Boleh jadi, polisi memang dipakai sebagai alat untuk menjalankan kejahatan dengan tujuan merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh pihak-pihak tertentu. Apakah polisi ingin mengubah negara hukum (rechtsstaat / law state) menjadi negara polisi (police state)?” papar Suteki

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang.

“Demikian pula antar sesama warga negara, juga memiliki persamaan di depan hukum. Bila tidak ada persamaan hukum dalam sistem ketatanegaraan dan sistem peradilan di Indonesia, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya “Equality Before The Law” adalah tidak ada tempat bagi “backing” yang salah, melainkan undang-undang merupakan “backing” terhadap yang benar,” pungkas Suteki.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News