Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Penulis mengucapkan rasa duka sedalam-dalamnya atas tragedi sepak bola yang menewaskan 125 orang dalam kerusuhan pasca derby Jatim antara Persebaya versus Arema di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022).
Tragedi serupa pernah terjadi 58 tahun lalu di Estadio Nacional Peru, Ibu Kota Lima saat kualifikasi Olimpiade 1964 berhadapan antara Timnas Peru versus Argentina, yang menewaskan tidak kurang dari 300 orang.
Dari sisi jumlah korban tewas, tragedi di Kanjuruhan Malang Jatim ini termasuk ranking dua dunia setelah tragedi di Peru 58 tahun lalu. Sementara itu, ada kemiripan terjadinya peristiwa sehingga menimbulkan tidak sedikit korban tewas salah satunya adalah adanya semburan gas air mata dari aparat kepada para penonton.
Tragedi ini tak urung menjadi perhatian serius bagi semua pihak di negeri ini tak terkecuali Presiden Joko Widodo yang menginginkan investigasi secara tuntas dan transparan atas tragedi yang telah terjadi serta evaluasi menyeluruh soal persepakbolaan di negeri ini.
Tak urung tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Malang ini pula menjadi perhatian Badan Sepak Bola Dunia FIFA yang konon akan segera menerjunkan tim investigasi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Malang.
Profesionalisme kerja FIFA pada saat investigasi di TKP nanti, diharapkan menjadi hal yang sangat ditunggu hasilnya tak terkecuali pula sanksi apa yang akan dikeluarkan FIFA terhadap PSSI sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia.
Jangan terlalu banyak berharap akan ada yang berani undur diri atas “ketidakbecusan” mengurus persepakbolaan di negeri ini, kecuali kita mesti siap-siap akan menerima sanksi dari FIFA.
Semoga tragedi kali ini menjadi pembelajaran yang berharga bagi kita, dan tragedi ini merupakan yang terakhir untuk tidak terulang lagi pada masa mendatang.