Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Menjelang pilpres pada Februari 2024, politik nasional kian panas dan dinamis. Pada saat yang sama, Indonesia terkena imbas perang Ukraina dan terseret dalam pusaran persaingan strategis AS-NATO Versus Rusia-Cina di tingkat global maupun regional.
Dilatari isu-isu di ataslah saya coba membaca makna di balik pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anie Baswedan bahwa ia siap menjadi capres bila ada parpol yang mengusungnya. Hal itu ia katakan dalam wawancara dengan kantor berita Reuters di Singapura pada 15 September, menjelang akhir masa jabatannya.
Anies melawat ke Negeri Singa dalam rangka menerima anugerah Lee Kuan Yew Exchange Fellow ke-72 dari pemerintah Singapura. Reuters adalah salah satu kantor berita terbesar di dunia. Maka adzan Anies itu diharapkan menarik perhatian dunia — termasuk AS, Uni Eropa, Cina, dan Rusia — yang hari ini melihat Indonesia sebagai negara paling instrumental bagi kepentingan jangka panjang mereka.
Terkait perang Rusia-Ukraina yang mendorong NATO pimpinan AS bahu-membahu membantu Ukraina dan sikap kian agresif Cina terhadap Taiwan maupun Laut Cina Selatan membuat AS dan NATO melihat Indonesia sebagai negara strategis di Indo-Pasifik untuk membendung ambisi Cina di kawasan.
Di tanah air, adzan Anies itu diapresiasi empat parpol: Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN. Maklum, Anies adalah salah satu aspiran capres paling populer. Wawancara dengan Reuters itu memberi kesan Anies sangat percaya diri dengan menantang pihak-pihak yang membencinya untuk menilai dia dari kinerjanya selama memimpin Jakarta, bukan dari asumsi-asumsi.
Kendati sudah dapat diperkirakan sebelumnya, adzan Anies itu juga memudahkan langkah parpol-parpol yang tertarik padanya untuk bermanuver dan mengambil langkah-langkah taktis dalam upaya membangun koalisi. Juga meningkatkan konsolidasi dan mobilitas para relawan dan orang-orang yang bersimpati padanya.
Sementara itu, perang Ukraina dan agresivitas Cina terhadap Taiwan, membuat hubungan Cina-Rusia kian dekat. Beijing bukan saja tak mengutuk invasi Rusia ke tetangganya itu, tapi juga menyatakan memahami keprihatinan keamanan Rusia atas ambisi NATO memperluas perbatasannya hingga ke perbatasan Rusia dan menuduh NATO provokator yang harus bertanggung jawab atas invasi itu.
Beijing pun meningkatkan volume impor energi dari Rusia saat NATO berupaya melepaskan diri dari ketergantungannya pada minyak dan gas dari negeri Beruang Merah itu guna melemahkan kemampuan perangnya.
Di pihak lain, Presiden Rusia Vladimir Putin berulang kali menegaskan dukungan Rusia atas rencana Cina terhadap Taiwan ketika Beijing mengancam akan mengamb alih negeri pulau penghasil chip terbesar di dunia itu, bila perlu dengan kekuatan. Dan beberapa waktu lalu, Cina mengirim ribuan tentara beserta alutsistanya ke Rusia untuk berpartisipasi dalam latihan perang besar-besaran di sekitar Laut Jepang dan Laut Cina Timur yang mengkhawatirkan Jepang dan membuat AS meradang.
Hal itu dilakukan tak lama setelah Cina melakukan latihan perang besar di seluruh penjuru Taiwan serta memblokadenya dari laut dan udara menyusul lawatan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei awal bulan lalu, yang dilihat Beijing sebagai dukungan AS bagi kemerdekaan Taiwan. Memang AS mengakui Taiwan sebagai milik Cina, namun Washington berjanji akan membantu militer Taiwan bila diserang Cina.
Persahabatan Beijing-Moskow didorong oleh kehendak mereka menciptakan tatanan dunia baru, dunia multipolar, di mana AS dan NATO tak lagi menghegemoni dunia. Cita-cita itu hanya mungkin terjadi bila Rusia menang perang di Ukraina karena akan melemahkan AS dan NATO dan membuka jalan bagi invasi Cina ke Taiwan serta memaksa negara-negara ASEAN (Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina) mengakui kedaulatan Cina atas 90 persen LCS yang kaya energi dengan dukungan Rusia.
Sebenarnya Indonesia pun bermasalah dengan Cina yang mengklaim Laut Natuna Utara yang masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sesuai Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Namun, Jakarta tak mau ribut dengan Beijing karena dipandang akan mendestabilkan ASEAN sekaligus merugikan Indonesia. Tetapi Indonesia, sebagaimana negara-negara ASEAN yang disebutkan di atas yang punya klaim tumpang tindih dengan Cina terkait pulau-pulau di LCS, akan mengalami tekanan hebat dari Cina bila Rusia memenangi perang di Ukraina. Dalam konteks ini, mau tak mau, Indonesia butuh dukungan AS beserta sekutunya untuk meningkatkan daya tawar Jakarta vis a vis Beijing.
Karena ada irisan kepentingan geopolitik Rusia dan Cina, beberapa pekan sebelum invasi Rusia, Putin dan Presiden Cina Xi Jinping mendeklarasi kerja sama tanpa batas kedua negaraa.
Dalam KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di Samarkand, Uzbekistan, pada 15-16 September lalu, yang menghadirkan pemimpin Rusia, Cina, India, Kazakhstan, Turki, dan Iran, Xi mengungkapkan hasrat Cina memainkan peran sebagai negara adidaya bersama Rusia. Sementara Putin mengecam upaya menciptakan dunia yang unipolar.
Sehari kemudian, parlemen UE mengeluarkan resolusi yang mengecam agresi Cina terhadap Taiwan. Resolusi itu berbunyi “tindakan provokasi Cina terhadap Taiwan harus memiliki konsekuensi bagi hubungan Cina-UE.” Dikatakan, UE dan Taiwan adalah mitra sepikiran yang berpegang pada nilai-nilai kebebasan, demokrasi, penegakan hak-hak asasi manusia, dan aturan main.
Lalu, pada 16 September lalu, Beijing menjatuhkan sanksi pada CEO perusahaan Boeng Defense dan perusahaan Raytheon atas keterlibatan mereka dalam penjualan senjata AS ke Taiwan senilai lebih dari 1 miliar dollar AS. Sanksi pada CEO Boeng DefenseTed Colbert dan bos Raytheon Technologies Corp Gregory Hayes merupakan respons Cina terhadap persetujuan Kementerian Luar Negeri AS atas penjualan senjata ke Taiwan awal bulan ini.
Eskalasi perseteruan AS-NATO versus Cina-Rusia di Indo-Pasifik khususnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling strategis di kawasan tatakala Myanmar, Laos, dan Kamboja telah berada dalam wilayah pengaruh Rusia dan Cina. Upaya Barat menarik Jakarta ke pihaknya tidak berhasil. Bukan saja Jakarta ogah menjadi bagian dari perseteruan negara-negara besar karena ingin menciptakan stabilitas kawasan dan menjaga doktrin sentralitas ASEAN, Indonesia juga ingin menarik manfaat ekonomi dan politik dari kebangkitan Cina, terutama pasar Cina dan iming-iming investasi pada pembangunan infrastruktur global melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Cina.
Menyadari ini adalah daya tarik Cina, dalam pertemuan di Madrid pada Juni silam, negara-negara demokrasi kaya G-7 sepakat menyediakan dana 300-an miliar dollar AS untuk juga membangun infrastruktur global menandingi Cina. Toh, ASEAN mengeluh bahwa mereka ditarik-tarik untuk menjauhi Cina, sementara keprihatinan ASEAN akan kepelitan Barat berinvestasi di sektor infrastruktur di kawasan mereka tak digubris.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara sangat strategis bagi geopolitik dan ideologi, pilpres 2024 menjadi penting bagi negara-negara demokrasi karena Indonesia berbagi nilai bersama dengan mereka. Diharapkan pilpres menghasilkan “like-minded partner.” Dalam hal ini, Anies adalah mitra yang diharapkan itu.
Pasalnya selama lima tahun terakhir, Anies telah membuktikan komitmennya pada nilai-nilai universal itu. Ia juga pemimpin yang bebas korupsi, kompeten, dan populer di mata negara-negara demokrasi. Signifikasi Anies bertambah karena pada dirinya tergabung dua dimensi politik sekaligus: Islam dan nasionalisme. Dua nilai ini akan memperkuat Indonesia karena akan menyatukan kembali masyarakat yang terpolarisasi sekaligus menjadi jangkar untuk menjaga Indonesia tidak kian terhisap kedalam lingkungan pengaruh Cina, rezim totaliter yang belakangan ini dilirik banyak negara miskin dan berkembang. Dengan kata lain, Anies dilihat mereka sebagai tembok kokoh demokrasi yang akan menghadang penetrasi Cina ke Indonesia. Sebaliknya, Beijing melihatnya sebagai “bukan orang yang diinginkan” dalam konteks kepentingan Cina di Indonesia dan kawasan.
Kokohnya Indonesia di bawah Anies pada nilai-nilai demokrasi, kebebasan, penegakan HAM dan hukum internasional di satu pihak, dan keberhasilannya memajukan bangsa serta menyejahterakan rakyatnya di pihak lain, akan memperkuat daya tarik sistem demokrasi di ASEAN maupun negara-negara Islam yang mulai tertarik pada sistem Cina yang efisien.
Memang bisa dipastikan, kalau terpilih memimpin Indonesia, Anies akan menjaga hubungan baik dengan Cina demi kepentingan nasional. Toh, Cina kini adalah pemain global. Namun, bukan tidak mungkin ia akan menilik ulang deal-deal bisnis dengan Cina bila dipandang merugikan Indonesia. Dari sisi geopolitik, mendekat ke Barat tanpa bermusuhan dengan Cina dan Rusia sangat mungkin lebih menguntungkan kelak.
Pasalnya, perang Ukraina sedang menyaksikan titik balik. Beberapa hari lalu, tentara Ukraina dengan senjata canggih yang dipasok NATO berhasil secara gemilang mengusir tentara Rusia dari daerah sekitar Kharkiv yang luas. Pada 17 September, intelijen militer AS menegaskan Putin tidak mampu meraih tujuan perang. Bisa jadi benar karena performa militer Rusia memang payah. Sebelumnya, Moskow juga gagal menaklukkan Kota Kiev.
Sementara itu, kendati sudah mendekati bulan ke-8, kemajuan yang dicapai tentara Rusia di berbagai front berlangsung sangat lamban, bahkan kedodoran. Putin memang underestimate terhadap kemampuan perang bangsa Ukraina dan salah membaca determinasi NATO. Akibatnya, bukan saja blitzkrieg (serangan kilat) gagal, Moskow kini terperosok semakin dalam kedalam lumpur perang. Perang berbalik arah: kekuatan Rusia menyusut, kekuatan Ukraina meningkat signifikan.
Kalau prediksi saya tidak terlalu meleset, yakni Rusia akan kalah perang di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi Cina akibat zero-covid policy dan jebloknya sektor industri real estate dan perbankannya — apalagi mulai 2023 sebanyak 260 perusahaan besar Cina akan kena delisting oleh Wall Street karena tak mampu memenuhi standar audit AS ‐- maka suka tidak suka, NATO, UE, dan AS beserta sekutunya akan berjaya. Sebaliknya, Rusia tenggelam dan Cina melemah.
Dalam situasi ini, bila Indonesia bertahan pada posisi abu-abu karena gagal memahami dinamika politik global dan regional seperti diperlihatkan rezim Jokowi, maka Indonesia tak mendapat apa-apa dari fenomena ini. Adzan Anies di Singapura sepertinya memberi nuansa pesan kepada dunia bahwa Indonesia akan berbeda bila ia menjadi presiden. Artinya, ia akan melakukan reposisi Indonesia dalam konteks perubahan geopolitik global dan regional yang sedang berlangsung demi kepentingan nasional.
Sebagai seorang sarjana ilmu politik dan ekonomi tamatan AS, pasti Anies faham tentang fenomena yang dibicarakan di atas. Maka bolehlah dikatakan adzannya dia di Singpura mungkin merupakan langkah politik futuristik untuk menjawab kebutuhan Indonesia pasca Jokowi. Karena rezim Jokowi akan meninggalkan banyak masalah di berbagai bidang akibat hantaman covid-19, perang Ukraina, dan salah urus negara yang berakibat pada utang luar negeri yang menggunung, dukungan politik, moril, dan ekonomi NATO, AS, dan G-7 kepada Indonesia sangat instrumental.
Dan Beijing tak akan bisa lagi melihat Jakarta sebagai mitra yunior yang ia remehkan. Melihat kemampuan leadership dan kapasitas moral serta intelektualnya, bisa jadi Anies ditakdirkan menjadi tokoh historis yang membawa Indonesia melompat jauh ke depan. Wallahu ‘alam bissawab!
Tangsel, 18 September 2022