by M Rizal Fadillah
Jokowi sudah tida ada harapan. Tidak ada harapan dalam dua makna, yaitu pertama Jokowi sudah tidak akan mampu bertahan karena serangan terhadap kursi kepresidennya semakin menguat. Kedua, rakyat yang sudah tidak memiliki harapan perbaikan apapun di bawah kepemimpinan Jokowi bersama oligarkinya.
Ada indikasi bahwa Jokowi ingin tetap bertahan. Walaupun nampak kebingungan. Apakah tidak bingung jika menyatakan bahwa tiga periode sebagai melanggar konstitusi tetapi menghargai aspirasi tiga periode sebagai demokrasi ?
Upaya bertahan itu dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tarik ulur wacana tiga periode, mencari boneka kepanjangan tangan Ganjar Pranowo atau Erick Thohir, hingga siap untuk menjadi Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo. Tapi apapun itu sebenarnya publik membaca Jokowi sedang bingung.
Fakta yang sulit dibantah adalah merosotnya kepercayaan rakyat pada Jokowi dan Pemerintahannya.
Untuk bertahan sampai 2024 saja bukan hal yang mudah. Pukulan bertubi-tubi diarahkan padanya akibat kebijakan oligarkis atau tidak populis yang telah diambil. Mangkrak Kereta Cepat jadi masalah dengan anggaran yang ternyata membebani APBN. IKN yang terseok-seok dan Omnibus Law yang masif digempur buruh.
RUU KUHP dilempari mahasiswa, kasus Sambo merobek-robek Polri, ada sinyalemen Effendi soal disharmoni TNI, BBM naik dengan aksi berkesinambungan mahasiswa, buruh, dan umat Islam. Aksi membuat fondasi untuk reaksi dampak kenaikan harga BBM ke depan. Arah pergerakan mendesak perubahan. Suara agar Jokowi turun terus menggema bersahutan.
Pilihan Jokowi yang berasumsi bertahan hingga 2024 dan terpaksa siap menjadi Wakil Presiden nampaknya menjadi agenda pahit. Sudah ada komunitas yang mendeklarasikan. Jubir MK Fajar Laksono menyatakan tidak masalah Jokowi yang menjabat dua periode untuk mencalonkan sebagai Cawapres.
Rupanya Jokowi memang sedang benar-benar bingung menghadapi hari-hari yang berjalan. Semua langkah selalu salah. Cermin dari lingkungan sekitar yang sudah tidak ajeg. Tidak satupun Menteri mampu mendongkrak kinerja. Malahan sebagian sedang sibuk pasang baliho pencapresan. Tak peduli bahwa sesungguhnya rakyat sudah muak dan mual.
Atas kondisi “hopeless” ini Aliansi Ulama dan Tokoh Jawa Timur membuat pernyataan sikap tanggal 12 September 2022 yang diserahkan kepada MPR. Di antara butir pernyataannya adalah Mosi Tidak Percaya atas kepemimpinan Jokowi serta mendesak MPR untuk segera memproses pemakzulan Jokowi. Di samping itu para ulama dan tokoh Jatim tersebut mendesak pula agar MPR membuat Ketetapan tentang kembali kepada UUD 1945 yang asli.
Fenomena aksi dan aspirasi rakyat berbagai elemen mendorong turunnya Jokowi. Dua jalan, pertama dengan kesadaran sendiri sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dimana di dalamnya ada klausul kesiapan mundur. kedua, berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 dengan pemakzulan oleh MPR.
Jokowi memang sudah tidak dapat memberi harapan dan tidak ada harapan. Rakyat sudah ingin memiliki pemimpin baru yang lebih amanah, jujur, dan kapabel. Segar, berani dan mampu memimpin gerakan untuk memulihkan wibawa dan menyelamatkan bangsa Indonesia.
Jangan biarkan Jokowi bingung. Tidak ada yang bisa diharapkan dari orang yang menderita delirium atau penyakit kebingungan (acute confusional state). Sindrom delirium dapat berdampak pada pemanjangan perawatan di RS atau berisiko kematian.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 September 2022