Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bukan partai wong cilik karena membenarkan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan harga BBM. Hal ini berbeda ketika SBY berkuasa, Megawati dan petinggi PDIP lainnya menangis dan mengajak para kadernya turun ke jalan.
“Sudah tidak ada tangis dan demo ke jalan dari PDIP. Mereka ibarat paduan suara, sudah tak terdengar suara lantangnya,” kata Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga kepada redaksi www.suaranasional.com, Ahad (4/9/2022). “Argumen pembelaan wong cilik sudah tidak mengemuka saat Jokowi menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax,” jelasnya.
Kata Jamiluddin, masyarakat menanyakan air mata Megawati, Puan, dan petinggi PDIP saat menentang kenaikan harga BBM di era SBY. “PDIP murni membela wong cilik atau air mata politis? Saat ini kiranya masyarakat sudah dapat menjawabnya,” ungkap Jamiluddin.
Kepentingan politik kiranya yang membuat perbedaan sikap elite PDIP tersebut. Saat mereka menjadi oposisi, mereka terkesan partai yang paling lantang membela wong cilik. Namun setelah mereka menjadi bagian dari kekuasaan, persoalan wong cilik sudah jarang didengungkan.
“Semua itu tentunya menjadi pelajaran bagi masyarakat dalam menilai partai politik, termasuk tentunya terhadap PDIP. Masyarakat kiranya sudah mengetahui kelayakan PDIP sebagai partai wong cilik atau tidak. Penilaian masyarakat itu akan terlihat pada Pemilu 2024,” pungkas Jamiluddin.