Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) kalah oleh oligarki sawit sehingga merugikan masyarakat kecil.
“Pemerintah kalah oleh oligarki sawit, apapun keputusannya tidak jalan. Rasanya sudah 3-0 Pemerintah kalah terus,” kata pengamat sosial Memet Hakim kepada redaksi www.suaranaaional.com, Rabu (27/7/2022).
Rezim Jokowi kalah oleh oligarki sawit, kata Memet terlihat adanya kebijakan pungutan ekspor sebanyak 288 usd/ton sudah dihilangkan, kran ekspor dibuka lebar, harga harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit masih aja rendah.
“Naik dikit tapi belum memadai. Harga migor juga masih berkisar 17.000 – 20.000/liter. Petani sawit & Konsumen (ibu-ibu) telah menjadi korban kebijakan dan ketidakberdayaan pemerintah,” jelasnya.
Awalnya pemerintah terlalu serakah mengambil BK & BK keluar sekitar 36-40 %, diikuti Pengusaha sebesar 25 %, sehingga walau harga pasar dunia bagus bahkan sampai 1.900 usd (normal 700-750 usd), petani tetap saja tidak menikmati harga baik tersebut. Pengusaha penyuplai bio diesel yang umumnya perusahaan asing itulah menerima subdisi besar.
“Tahap berikutnya dengan maksud menyenangkan petani, Pemerintah tiba-tiba menyetop ekspor, sehingga tatanan bisnis terganggu. Seperti biasa pengusaha tidak mau rugi, yang dikorbankan adalah petani lagi. Harga tbs semakin melorot tajam bahkan ada yg hanya Rp 400/kg tbs, sehingga ada yg sama sekali tidak panen karena rugi,” jelasnya.
Selang beberapa bulan ada pergantian menteri, kebijakan berganti, BE dari 288 usd dihapus sama sekali, agar ekspor lancar kembali. Maksud ya sama untuk menyenangkan petani. TBS memang naik harganya tapi sedikit aja. Bahkan menteri perdagangan menghitung cukup Rp 1.600/kg, walau realisasinya masih dibawah Rp 1000/kg.
Padahal jika harga CPO saat ini 1.000 usd, maka harga tbs setidaknya disekitar Rp 2.900/kg.
Bea Keluar 200 usd = Rp 2.900/kg CPO = Rp 580/Tbs, artinya pemerintah juga tega memotong uang petani sawit sebesar 20% dari harga tbs. Terus diikuti oleh *Pengusaha yang minta bagian ke petani sawit sebesar Rp 720/kg tbs = 25 %, sehingga harga tbs yg ditetapkan menjadi Rp 1.600/kg.
Memet mengutarakan, jika pakai formula penetapan harga dari Ditjenbun perhitungannya sbb.:
Harga CPO =1.000 usd=Rp 14.500/kg
Harga Kernel = Rp. 5.000/kg
Faktor K = 90% (Umur 10 tahun)
Rendemen MS : 22%, IS : 5 %
Perhitungan :
(14.500 x 90% x 22 %) + (5.000 x 5%) = Rp 2.871 + 250 = *Rp 3.121
“Bandingkan dengan penentuan dari kemendag yg hanya Rp 1.600 dan realitanya dibawah itu. Bukan main perlakuan yg dilegalkan seperti ini terhadap petani sawit,” tegas Memet.
Mungkin sudah nasibnya petani, karena lemah posisinya dan terpecah menjadi santapan para oligarki sawit yg kuat dan bersatu. Beginilah kalo cuma untung rugi yg dipikirkan, coba kalau UUD 45 khususnya pasal 33 dijalankan dengan konsekuen oleh pemerintah, pasti rakyat terlindungi
Kata Memet, China minta tambahan impor CPO 1 juta ton, hal ini tidak berpengaruh pada harga CPO dunia yang totalnya 73 juta ton/tahun.
Kerusakan tatanan tata niaga sawit akibat stop impor cukup mahal harganya. Inilah yg terjadi jika yang bukan ahlinya yang pegang kendali.
“Jual beli minyak sawit, umumnya pakai kontrak jangka menengah dan panjang, begitu disetop, mereka kalang kabut mencari penggantinya. Begitu kran ekspor dibuka lagi, tentu perlu waktu lagi untuk penyesuaian. Kepercayaan yang hilang sulit dikembalikan lagi,” tegasnya.
Jalan pintas yg tersedia dan dapat dikendalikan, percepat saja program Biodiesel dari B30 –> B50. Sehingga minyak sawit dapat diserap lebih banyak, hanya saja *jangan lupa subsidi juga petani dan konsumen, bukan hanya pengusaha asing.
Bagaimana dengan produksi minyak sawit nya ? Apakah bisa digenjot dalam waktu singkat ? Ingat kelapa sawit itu tanaman mahluk biologi, yg punya keterbatasan. Walau bisa didongkrak sampai 50 % dengan menggunakan metoda PFM misalnya, tetap perlu waktu 4-5 tahun, tidak bisa dikebut.
Produksi CPO 2022 = 47 juta ton,
Migor & oleo chemicals = 11 juta ton
Bio diesel (B30). = 9 juta ton
Total Kebutuhan DN. = 20 juta ton
Sisa produksi minyak. = 27 juta ton
Produksi setahun ya cuma itu aja yg bisa diekspor, hanya 27 juta ton/tahun atau 2 25 juta ton/bulan. Itupun yg benar-benar CPO hanya 9 juta ton, sisanya udah diolah jadi oleo chemicals.
Pasar yg 27 juta ton inilah yang beberapa bulan yg terdistorsi akibat kebijakan stop ekspor. CPO tidak dapat disimpan lama, jika cerdik sebenarnya bisa saja seluruh CPO diolah dulu dan disimpan di DN. Ingat puluhan pabrik Migor yg tidak terintegrasi tidak kebagian CPO, akhirnya tutup, potensi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan. Sayang tata niaga seperti ini tidak dikelola oleh ahlinya, sehingga para petani dan konsumen dikorbankan.
“Solusi menyeluruh baik untuk rakyat, segera nasionalisasi perusahaan swasta asing seluruhnya, libatkan Bulog untuk mengurus tataniaga minyak di DN. Tapi beranikah pemerintah menghadapi oligarki ini?” tanya Memet.