Oleh I. Sandyawan Sumardi, Pekerja Kemanusiaan
Bapak-Ibu dan saudara-saudara yang saya hormati.
Terus terang saya tidak tahu persis, mengapa saya diminta untuk memberikan tanggapan melalui diskusi ini, buku “Anies Baswedan Gagasan, Narasi dan Karya, Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa”, yang ditulis Habib Abdurrahman Syebubakar dan Habib Smith Alhadar, dua sahabat yang saya kenal sejak awal dibentuknya WAG “Institute for Democracy Education (IDe) – Human Development” yang didirikan oleh sahabat saya, almarhum Ivan Hadar, seorang sosiolog yang saya kenal baik, sejak pertengahan tahun 1990-an.
INDEPENDEN
Bisa jadi saya diminta ikut bicara dalam diskusi ini justru karena saya bukan politikus.
Saya seorang pekerja kemanusiaan biasa, yang independen, yang dalam pergaulan sehari-hari bersikap non sektarian, non-partisan, dalam 20 tahun terakhir banyak mendampingi komunitas-komunitas warga sederhana di kampung kota DKI Jakarta ini.
Saya ingin tetap jadi manusia merdeka, yang dalam Pilkada 2017, saya ekspresikan dengan menjadi seorang Golput..
Maka ijinkanlah pada kesempatan ini saya ingin bicara tentang Anies Baswedan lebih sebagai manusia biasa yang sedang berproses dalam kepenuhannya sebagai manusia Indonesia yang berakal, bernurani, beriman, ketimbang sebagai makhluk politik belaka.
Bukan kah Anies Baswedan sebagai calon presiden akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan kesiagaannya untuk bertarung dalam Pemilu 2024 yang masih jauh itu? Sehingga tanpa sadar kita cenderung memandang/menuntutnya untuk menjadi sosok manusia yang sempurna, mudah bagi kita untuk menyematkan gambaran dirinya yang serba superlatif, atau sebaliknya serba negatif secara total dalam objek buli-bulian..
Saya pun tetap merasa bebas pada awal kepemimpinannya, saya bersama “Forum Akademisi dan Praktisi Pecinta Kampung Kota” di mana saya menjadi fasilitator komunikatornya, pernah mengingatkan dan mengkritik gubernur Anies baswedan dan wakil gubernur Sandiaga Uno,
Forum Kampung Kota Mengingatkan Anies-Sandi Akan Janjinya, 15 November 2017
(https://rujak.org/forum-kampung-kota-mengingatkan-anies-sandi-akan-janjinya/).
Juga bersama 32 kawan saya terlibat dalam Gugatan Pencemaran Udara terhadap Gubernur DKI, Gubernur Jawa Barat, Walikota Banten dan Presiden RI
(https://www.vice.com/id/article/pkb5xv/pn-jakarta-pusat-menangkan-gugatan-warga-sebut-presiden-jokowi-dan-gubernur-anies-melawan-hukum-soal-kebijakan-polusi-udara)
Saya lebih ingin membahas nilai-nilai kehidupan yang diperjuangkan Anies Baswedan..
MANUSIA ANIES BASWEDAN
Saya mengenal mas Anies Baswedan di tahun 2007 di kantor Kang Mohammad Sobary, ketika saya sedang mencari bantuan untuk menyelenggarakan Festival Budaya Anak Pinggiran (3000-an) Jabodetabek 2007. Waktu itu mas Anies Baswedan baru diangkat sebagai rektor Paramadina.
Tenang, ramah murah senyum, tak banyak bicara, suka mendengar, terbuka, kalau bicara yang perlu dan efektif saja, respek pada lawan bicara, meski baru dikenal, dan memang percaya diri dan cerdas. Orang Jawa bilang penampilannya “nyatrio”, seperti satriya Jawa, dari kalangan bangsawan..
Baru dalam Pilkada Jakarta 2017, setelah komunitas warga Bukit Duri yang saya dampingi proses pemberdayaannya selama 17 tahun itu digusur-paksa pada tanggal 28 September 2016 oleh gubernur DKI petahana Basuki Tjahaya Purnama waktu itu, mas Anies sebagai calon gubernur datang ke kampung kami, memberi simpati kepada warga korban gusuran, sekaligus berkampanye dalam Pilkada 2017.
Meski pendekatannya simpatik, tapi waktu itu saya tidak terlalu antusias.
Kan semua ini dalam rangka kampanye juga.
Kami masih trauma pada pengalaman kampanye Pilgub 2012, di mana cagub dan cawagub bahkan datang ke Sanggar Ciliwung di kampung kami Bukit Duri 2-3X, minta dukungan Paguyuban Warga Anti Penggusuran (PAWANG).
Tapi kemudian ketika gugatan warga Bukit Duri, baik gugatan class action di PN Jakarta Pusat maupun gugatan di PTUN dinyatakan menang, persis sesudah sebulan Anies-Sandi dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih, gubernur Anies baswedan mempersilakan kami, warga Bukit Duri korban gusuran, untuk datang ke balaikota.
Bahkan gubernur Anies saat itu berjanji kepada kami dan di depan publik, bahwa gubernur DKI, akan menerima putusan itu, dan tidak akan banding. Bahkan gubernur Anies Baswedan kemudian bertemu Presiden dan Menteri PU-PR untuk mohon agar pemerintah pusat juga tidak usah melakukan banding terhadap putusan menang warga Bukit Duri.
Waktu itu saya membaca di media dan mendengar sendiri dari gubernur Anies bahwa sebenarnya Presiden juga sudah menyetujui untuk tidak banding, “Masa kita mau melawan warga kita sendiri”.
Tapi pada kenyataannya, ternyata pemerintah pusat, melalui kementerian PU-PR tetap melakukan banding sampai di MA, bahkan sampai detik ini, belum ada putusan, terkatung-katung.
“LEGACY”
Tapi rupanya gubernur Anies tidak tergantung pada hasil putusan pengadilan. Gubernur Anies memang benar-benar ingin membantu warga korban gusuran, bukan hanya di Bukit Duri, tapi Kampung Akuarium, Kunir, dlsb.
Gubenur ingin bekerja sama dengan warga korban gusuran, untuk membangun “Pilot Project” (proyek percontohan) pemukiman warga miskin urban di beberapa lokasi di DKI Jakarta, dengan konsep “Kampung Susun”, mungkin sebagai solusi alternatif proyek DP Nol Persen yang kesulitan.
Begitulah selanjutnya, kami komunitas warga pinggiran ini ternyata diajak secara pro-aktif bekerja sama oleh Pemprov DKI, dengan konsep CAP, “Community Action Plan”, yang berprinsipkan partisipasi dan kolaborasi, yang pada dasarnya adalah proses penyadaran dan pemberdayaan, baik untuk komunitas warga sederhana, maupun untuk jajaran Pemprov DKI, karena bagaimanapun ini hal dan pengalaman baru bagi kita semua. Kalau pendekatannya hanya legalitas hukum saja, tak ada terobosan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tak ada “political will” yang kuat dari gubernur dan jajarannya, tak bakal “Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung bagi warga eks gusuran Bukit Duri” itu bakal terwujud.
Dan insyaallah, pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung itu sebulan dua bulan lagi bakal rampung.
Saya tahu, pembangunan hunian warga sederhana Kampung Susun hanyalah salah satu masterpiece kerja Pemprov DKI 2017-2022.
Saya tahu masih ada karya besar yang besar-besar yang sudah selesai/akan selesai:
– Jakarta International Stadium (JIS),
– Formula E/Sirkuit Formula E-Prix Ancol Jakarta,
– Tebet Eco Park,
– Flyover Tapal Kuda Lenteng Agung,
– Jalur Sepeda Sudirman Bunderan HI,
– Revitalisasi Taman Ismail Marzuki..
Memang harus diakui, dalam praktek, seorang pemimpin demokratis, yang menggerakkan warganya dengan prinsip partisipatif dan kolaboratif secara konsisten dan konsekuen, itu jauh lebih sulit, terkesan lambat, rumit menghadapi barrier dan bagaimana mengatur birokrasi, mencari dan mengatur sistem pendanaannya, pendayagunaan anggaran itu dengan manajemen sebaik, seselektif serta seefektif mungkin sehingga tidak bocor dan betapa njelimetnya menyusun aturan-aturan hukum untuk mendukung dan mengawal proyek-proyek pembangunan itu sampai ke masa depan.
Begitulah mas Anies Baswedan sebagai pemimpin adalah pribadi yang reflektif, berani melakukan diskresi, berani mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang komprehensif dan matang.
Maka benarlah prinsip yang jadi judul buku ini “Gagasan, Narasi dan Karya”.
Setiap karya di belakangnya ada narasi. Sebelum narasi harus ada gagasan. Tidak ada karya tanpa gagasan. Tidak ada kebijakan tanpa gagasan..
Dan prinsip ini kami saksikan, kami alami sendiri dalam praksis kerjasama komunitas warga miskin urban, dengan Pemprov DKI dan para “stake holder” (para pemangku kepentingan) lainnya.
Saya ingat, 10 tahun lalu, saya mengunjungi Taman bunga Keukenhof di Belanda yang dikenal di seluruh dunia sebagai salah satu taman bunga terbesar dan terindah di planet ini, yang dibangun pada tahun 1949 oleh calon wali kota Lisse. Lisse merupakan kota kecil di dekat Amsterdam.
Pada awalnya, calon walikota Lisse itu mengusulkan diselenggarakannya sebuah pameran bunga agar penanam bunga dari penjuru Belanda dan Eropa, dengan harapan pameran akbar ini akan membantu Belanda, untuk mengembangkan diri sebagai eksportir bunga terbesar di dunia.
Maka melalui riset profesional mendalam, dirancangbangunlah taman bunga Keukenhof, di sekitar Kastil Teylingen, Lisse.
Karena prestasi dan legacy ini, ia terpilih sebagai walikota Lisse. Dan kita tahu, dalam waktu 50 tahun Keukenhof telah menjadi sebuah taman bunga terbesar dan terindah di dunia.!
Dan sejak 2017 sampai sekarang 2022, saya pun menyaksikan seorang gubernur, dengan tekun dan konsisten, sedang bekerja dalam team-work Pemprov DKI bekerjasama dengan DPRD, komunitas-komunitas warga, sebagian besar warga DKI Jakarta, mengarungi segala tantangan dan kesulitan, akhirnya pelan tapi pasti, ternyata melahirkan berbagai “legacy” (warisan) yang berkualitas..
Ya sah-sah saja kalau seorang calon walikota, calon gubernur, atau calon gubernur mencalonkan diri/dicalonkan untuk menjadi walikota, gubernur atau Presiden, bermodalkan prestasi/legacy nyata seperti itu.
Jadi bukan karena hasil survei-surveian saja, kongkalikong politik demi kekuasaan semata, guyuran “money politic” dari para oligarki, dlsb.