Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) tidak berdaya menghadapi para pengusaha sawit yang didominasi asing.
“Pemerintah rupanya sudah tidak berdaya menghadapi pengusaha-pengusaha sawit yang didominasi oleh asing,” kata Dosen Unpad Bandung Memet Hakim kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (19/7/2022).
Kata Memet, selama masih ada ikatan sandera antara pejabat dan pengusaha sawit yang didominasi asing, tentu saja tidak ada solusi yang dapat dilaksanakan dengan baik.
“Salah satu alternatif yang paling mudah dan realistis lakukan nasionalisasi seluruh perusahaan sawit asing termasuk industri hilirnya. Prosesnya bisa dengan PP atau UU. Supaya yabg diambil alih tidak merasa rugi, prosesnya pembayarannya juga dengan cara yang baik dan wajar,” ungkapnya.
Memet mengungkapkan, nilai investasi perusahaan sawit asing adalah sekitar 8.000.000 ha x 5. 000 usd = 40 juta usd, sedang laba usaha yang lari ke LN setiap tahunnya sebesar 8.000.000 ha x 4 ton (CPO+PKO) x 600 usd = 19.2 juta usd. Pembayaran dilakukan dari laba usaha perusahaan itu sendiri, menurut perhitungan 2 – 3 tahun sudah lunas.
“Jika alternatif nasionalisasi perusahaan sawit asing tidak berani dilakukan, tingkatkan lagi BK (Biaya Keluar) & BE sehingga mereka tidak betah jika usahanya diteruskan dan akhirnya bersedia di ambil alih pemerintah,” jelasnya.
BUMN dan swasta nasional yang total luasnya tidak lebih dari 10% itu banyak membina petani sawit, BK & BE hanya dibebankan 5% dari harga saat ini atau sebesar 75 usd/ton dan BE 75%. Dengan demikian akan terjadi subsidi silang yakni perusahaan asing membantu petani sawit dan konsumen dalam negeri, sehingga keberadaan mereka benar-benar bermanfaat untuk rakyat Indonesia.
“Jika pemerintah ingin produktivitas kelapa sawit meningkat, maka BK dan BE yang dikenakan bukan seperti sekarang, yakni semakin tinggi ekspor semakin tinggi pajaknya. Idealnya BK & BE yang dikenakan semakin tinggi produktivitas, semakin rendah pajaknya. Jadi para pelaku akan berusaha agar produktivitas meningkat dengan sendirinya,” ungkapnya.
Memet mengatakan, luas perkebunan swasta nasional dibatasi cukup 5 % saja seperti yg ada sekarang. Luas BUMN yang harus diperluas utk mengimbangi luasan petani sawit. Perusahaan asing cukup tidak boleh bertambah lagi. Jadi petani sawit rakyat BUMN saja yang boleh bertambah, keduanya adalah andalan pemerintah karena bisa diatur pemerintah secara penuh.
Pabrik migor yang tidak terintegrasi segera ditangani Bulog, pabrik ini yang melayani kebutuhan dalam negeri. Bulog mendapat alokasi CPO sebanyak 6-10% dari produksi nasional. Untuk Biodiesel, Pertamina diberi alokasi sebesar 10-20% saat ini. Utk kebutuhan oleo chemical cukup maksimal 10 %, jadi sisanya yg sekitar 60 % CPO diekspor dalam berbagai bentuk.
“Harga Bulog adalah harga pasar internasional, tapi disubsidi oleh pendapatan dari BK & BE untuk perusahaan asing. Saatnya pemerintah harus berpihak pada rakyat bukan pada pengusaha asing. Dengan demikian baik konsumen maupun petani sawit akan sama-sama senang,” tegasnya.
Serahkan mekanisme tata niaga migor pada mekanisme pasar yang dikawal oleh Bulog. Jangan sampai terjadi TNI/Polri terlibat karena dampaknya sangat negatif. Kebijakan harga dan besarnya subsidi cukup ditentukan Bulog atas persetujuan pusat.
Kata Memet, peluang kecurangan yang tadinya ada di tingkat pusat pindah ke Bulog, diperlukan hanyalah pengawasan lebih ketat. Memang sudah tugasnya Bulog menyiapkan seluruh bahan pokok makanan.
Ringkasnya pendapatan negara non pajak (BE) sebesar 204 T dikembalikan utk kesejahteraan Rakyat termasuk petani sawit dan subsidi Biosolar, subsidinya bisa sampai 10.000/kg. Dengan demikian harga TBS petani tetap naik, konsumen tetap dilindungi, perniagaan berjalan normal. Jangan sampai terjadi pemerintah yg harusnya membantu petani malah terkesan sengaja menghancurkan petani.
“Apabila kedua alternatif diatas tidak berani dijalankan, artinya pemerintahnya tidak bersih dan hanya menjadi alat pengusaha saja. Dengan demikian tidak ada yg dapat dilakukan karena pemerintah dan pengusaha berkonspirasi untuk itu,” pungkas Memet.