Oleh: Yusuf Blegur*
Terlihat dan terkesan sebagai aktifis pergerakan, rajin menyemburkan kata-kata perjuangan. Tapi sesungguhnya yang tak tampak tapi nyata, tak lebih dari mengidap penyakit hati yang akut. Bukan hanya sekedar pendusta yang penuh hasad, dengki dan fitnah, memecah belah kalangan perlawanan. Perwujudan nilai berjuang, hanya mampu dimaknai dengan beras, baju dan uang.
Manusia Indonesia, dalam kehidupan personal, saat membentuk kelompoknya, hingga membangun hubungan dalam ikatan kebangsaannya. Terasa semakin terus mengalami degradasi moral. Ada gejala merosotnya kualitas lahir batin dalam hidupnya. Interaksi sosial yang terjalin di antara sesamanya, semakin memprihatinkan dan jauh meninggalkan nilai-nilai. Norma-norma dan etika terbiasa diabaikan, semudah menerobos lampu merah dan aturan lalu-lintas lainnya. Hukum positif negara dan syariat keagamaan, layaknya lagu pop kontemporer yang mudah dinikmati dan disukai, namun semudah melupakan dan menjadikannya kenangan.
Kecuali pada penguasa, sebagian besar rakyat Indonesia kerapkali mengeluh pada kenyataan-kenyataan hidup bernegara dan berbangsa. Isu dan tema-tema demokrasi, HAM, kepemimpinan nasional dan masih banyak lagi pembahasan krusial lainnya. Tak pernah berhenti menjadi bahan pergunjingan saban hari dan saban tempat. Diskusi atau musyawarah tak lagi dapat dibedakan, untuk mencari solusi atau sekedar panggung isu, intrik dan fitnah. Niat, tata-cara dan tujuan pergaulan sosial tersebut kecenderungannya telah menjadi sarana bercampurnya kebaikan dan keburukan. Ada indikator kuat betapa menjadi serba permisif ketika memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kebatilan.
Harus diakui dan tak terbantahkan, bahwasanya negara sedang tidak baik-baik saja bahkan boleh dibilang dalam keadaan emergensi. Semua boleh saja menyebut kekuasaan dikendalikan oleh rezim yang dzolim. Membuat ilustrasi pemerintahan yang thogut sekalipun atau bahkan pemimpin yang tak ubahnya sosok Firaun di jaman modern. Realitas potret sosial dari publik yang melahirkan pandangan kritis dan geliat perlawanan. Tapi sayang dan miris, upaya rakyat dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu tak sekedar memunculkan konflik vertikal, perlawanan rakyat terhadap rezim yang mewakili pertarungan kelas atas dan kelas bawah.. Lebih dari itu, telah berdampak juga pada sesama kelas bawah dan sesama kelas menengah. Rasa permusuhan dan kebencian kini menyelimuti sesama anak bangsa. Bahkan perseteruan yang terjadi di antara mereka tanpa mereka sadari, sesungguhnya korban juga dan yang selama ini menjadi kaum tertindas oleh sistem. Namun jauh lebih hebat pertarungan sesamanya ketimbang kepada rezim.
Dengan pembawaan pikiran dan perilaku yang penuh syak wasangka, dilumuri oleh sifat hasad dan dengki serta hati yang terbiasa senang melhat orang susah dan susah melihat orang senang. Sesama rakyat jelata dan marginal itu, pada akhirnya hanya akan menodai ruh dan semangat perjuangan pembebasan. Mencoreng marwah kekuatan pergerakan, karena menuduh yang lain tercela dan hina, sembari melupakan fakta dirinya justru diselimuti hal tersebut. Tanpa eling dan intropeksi, dipenuhi syahwat mengagungkan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Mengaku dan berkoar-koar pejuang tapi sejatinya penghianat dan pecundang. Mengumumkan ke publik dirinya revolusioner, akan tetapi sebenarnya hanyalah kontra revolusioner dan penghianat bagi rakyat, negara dan bangsa serta kemanusiaan pada umumnya.
Kini, kekuasaan yang absolute dan absolut korup, semakin langgeng dan digdaya. Bukan karena rezim yang kuat dan tak bisa dikalahkan, melainkan karena lemah dan rapuhnya gerakan kesadaran kritis dan perlawanan. Kekuatan oposisi terus asyik saling mengigit sesamanya, menebarkan sikap merendahkan, dzolim dan menganiaya kemurniaan perjuangannya sendiri. Kekuasaan yang mengendalikan uang, senjata dan birokrasi, hanya bisa dihadapi dengan kebiasaan ghibah dan saling menghujat sesama aktifis pergerakan.
Atau jangan-jangan banyak yang sekedar mengaku-aku dan klaim sebagai pejuang, padahal sesungguhnya membawa gen dan sifat kemudharatan dan distorsi kekuasaan. Perilaku kekuasaan yang ditentangnya dan oleh karena itu sering terlontar hujatan dari mulutnya yang penuh fitnah dan keji juga.
Aduhai kasihannya, sudah hidup menganiaya dan menindas dirinya sendiri, terbelenggu pula oleh miskinnya ahlak dan kefakiran jiwa. Antara penguasa dzolim dan yang menggugatnya beda-beda tipis.
Sampai kapan sanggup memakai topeng?
*Munjul-Cibubur, 26 Juni 2022*