by M Rizal Fadillah
Ini belum berbicara soal pengkhianatan Jokowi pada negara, bangsa dan rakyat Indonesia. Amanah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa dinilai gagal ditunaikan dan menyimpang. Perhatian kita tertuju dahulu kepada pengkhianatan Jokowi kepada partai pengusung utama dan Ketua Umum Partai tersebut.
Jokowi diajukan sebagai Capres pada Pemilu 2014 maupun 2019 oleh PDIP meskipun yang bersangkutan bukan berasal dari kader PDIP. Saat menjadi Gubernur DKI sebelumnya Jokowi diusung oleh Partai Gerindra bersama PDIP. Peran PDIP baik untuk Pilgub 2012 maupun Pilpres untuk menggoalkan Jokowi sangat besar. Bahkan dapat disebut sebagai penentu utama.
Tetapi kini ternyata Jokowi mulai menjaga jarak dengan PDIP. Perseteruan Jokowi dengan Megawati semakin meruncing. Sejak KPK “milik Jokowi” dan Kejagung “milik Megawati” maka target-target hukum saling berbalas. Pembongkaran kasus korupsi jadi mainan untuk memperkuat posisi.
Waktu Iedul Fitri lalu, Jokowi dengan Megawati tidak berhalal bihalal, Jokowi memilih ke Jogyakarta. Dalam perhelatan pernikahan adik Jokowi baik Megawati maupun Puan tidak menghadiri. Sebaliknya di saat acara penting BIN Smart Campus Soekarno yang dihadiri Prabowo, Budi Gunawan dan Hendropriyono, Jokowi yang tidak hadir. Aktivis PDIP Bambang Pacul menyatakan ada pihak yang menjauhkan Jokowi dari Megawati dan PDIP.
Rupanya Jokowi “mutung” karena kemauannya tidak didukung. Soal perpanjangan masa jabatan tiga periode. Akhirnya saling bermusuhan. Namun “hengkang” nya Jokowi dari Mega dan PDIP dapat berkonsekuensi apalagi jika kualifikasinya sampai pada pengkhianatan.
Tiga kemungkinan akibat politik ke depan yang dapat terjadi akibat Jokowi berkhianat, yaitu :
Pertama, bersama kekuatan oposisi PDIP akan melakukan upaya untuk menurunkan Jokowi sebelum tahun 2024 baik dengan melakukan tekanan politik maupun proses Sidang Umum MPR. Mengendalikan trium virat dan mempengaruhi MPR untuk menghasilkan pasangan yang dianggap menguntungkan PDIP.
Kedua, ikuti alur waktu hingga Pemilu 2024 dimana PDIP maju dengan Capres sendiri, tidak mendukung “calon kepanjangan tangan” jokowi. Jokowi kehilangan basis partai pelindung. Akhirnya akan masuk fase penghukuman pasca masa jabatan.
Ketiga, penunjukkan Plt Kepala Daerah yang dipastikan “orang orang Jokowi” akan diganggu PDIP sehingga skenario bantuan Kepala Daerah untuk sukses Pilpres dapat digagalkan. Bandar atau oligarki dibuat ragu untuk tetap berada di belakang kepentingan Jokowi.
Dengan melepaskan diri dari PDIP dan Megawati, Jokowi kehilangan sandaran partai politik. Jokowi semakin teralienasi dan menyebabkan pilihan hanya satu yaitu mundur. Dalam hal tidak mundur, Jokowi tetap ingin menempatkan diri sebagai “king maker” untuk banyak kandidat Ganjar, Erik, Sandi, Anies bahkan Prabowo. Berharap “king” nya nanti dapat menyelamatkan pribadinya baik kekayaan maupun keluarganya.
Dengan memusuhi PDIP yang telah berjasa melahirkannya justru Jokowi itu berkhianat di akhir.
Sejarah banyak mencatat bahwa pengkhianat selalu memiliki garis ujung kehidupan yang tragis.
Jokowi dengan Megawati bukan sekedar pecah kongsi tetapi soal bukti teman yang tidak berbalas budi. Puan yang semestinya dibantu dan didukung, justru ditelikung. Ganjar Pranowo telah menjadi boneka jokowi dan oligarki untuk menghabisi Megawati dan Maharani.
Meskipun begitu, Jokowi akan habis masa kekuasaannya sebentar lagi. Dan demi menyelamatkan diri terpaksa ia harus tabrak sana sini. Tapi semua itu adalah tahap sakaratul maut yang tidak akan bisa menolong untuk menghidupkan kekuasaan menjadi seribu tahun lagi.
“Betrayal is not a way of calm, victory and happiness but a form of restless, defeat and suffering”
Berkhianat bukan jalan bagi ketenangan, kemenangan, dan kebahagiaan tetapi wujud dari kegelisahan, kekalahan, dan penderitaan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 3 Mei 2022