by M Rizal Fadillah
Piknik atau bukan kunjungan Jokowi ke Amerika ditentukan oleh hasil yang diperoleh atau manfaat konkrit untuk bangsa dan negara. Bila hanya menguntungkan diri, keluarga atau kelompok, maka itu adalah piknik. Tanda-tanda sudah ditunjukkan sejak awal, ketika kedatangan tanpa penyambutan yang memadai. Berbeda dengan sambutan kepada Kepala Negara Malaysia, Singapura, atau Brunai Darussalam.
Amerika tentu melihat sikap Indonesia lebih pada basa-basi dalam konteks kerjasama ASEAN karena Indonesia lebih dekat dengan musuh Amerika, China. Bagaimana mungkin ada simpati untuk negara yang berkolaborasi dengan lawan. Tawaran bantuan keuangan 150 Juta US Dollar kepada ASEAN nyatanya lebih fokus untuk “keamanan inklusif” penguatan maritim melawan China.
Tumpangan kegiatan berupa pertemuan dengan CEO perusahaan AS dinilai mengemis-ngemis. Tawaran investasi, dalam bahasa wartawan senior Hersubeno Arief, seperti “Indonesia for sale”. Publik mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan siapa Jokowi menawarkan besi, baja, bauksit, nikel, dan industri ekonomi digital tersebut ?
Pertemuan di Intercontinental the Willard Hotel, Washington DC tersisip olok-olok publik ketika Presiden Jokowi salah menterjemahkan status US Secretary of Commerce Gina Raimondo. Secretary of Commerce adalah Menteri Perdagangan bukan Sekretaris sebagaimana yang disebut Jokowi.
Ketika menemui pemilik Space X di Boca Chica, sebagaimana Luhut Panjaitan dulu, Elon Musk tetap menyambut dengan mengenakan kaos oblong. Pemberitaan obrolan hangat antara keduanya tanpa dibarengi dengan video yang menunjukkan kemampuan bahasa Inggris Jokowi. Bahkan tersebar Presiden Jokowi sulit berkomunikasi bebas saat berdiskusi dengan Joe Biden atau lainnya.
Sebenarnya para CEO dan Elon Musk bukan tidak tahu potensi SDA Indonesia seperti besi baja, nikel dan lainnya tetapi persoalan investasi itu kompleks. Realita bahwa perizinan sulit, rumit, dan berbelit membuat investor ragu. Pengadaan lahan baik soal harga maupun konflik dengan masyarakat sering terjadi. Regulasi tumpang tindih dan berubah-ubah. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah tidak jelas. Ganti Gubernur ganti kebijakan.
Permasalahan utama tentunya adalah korupsi dan stabilitas politik. Kepercayaan rakyat pada kepemimpinan Jokowi terus merosot.
Ketika Pemerintahan Jokowi lemah dan goyah jangan harap investor akan datang apalagi dengan berbondong-bondong.
Maksimum 2024 Presiden Jokowi dan “Perdana Menteri” Luhut Binsar juga akan tamat.
Kini Jokowi kembali ke tanah air dengan berharap bahwa undangan pertemuan G 20 di Bali nanti, dimana Indonesia menjabat sebagai Presidency, dapat dihadiri AS. Amerika mempersyaratkan Indonesia untuk tidak mengundang Rusia. Suatu kondisi yang membuat Presidency dilematis.
Kembali ke tanah air dengan wajah belum sumringah. Janji bukan solusi. Bukankah Jokowi juga menyandang predikat sebagai Presiden seribu janji tanpa bukti dan solusi ? Dunia masih akan melihat-lihat.
Apalagi jika kembalinya Pak Jokowi ke Ibu Pertiwi ternyata disambut hangat oleh aksi protes mahasiswa, buruh, atau emak-emak yang terus menerus menggelinding dan menggumpal. Maka jangan harap investasi akan datang bergelombang, malahan mungkin yang ada juga akan menghilang.
Atau kemungkinan besar bahwa investasi segera datang tanpa harus diundang jika Pak Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden ?
Mundur atau dimundurkan.
Bay de wey, welkam hom, Pak.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Mei 2022