Oleh: Al Ghozali Hide Wulalada (Akademisi dan Praktisi Hukum )
Pemilu 2024 nampaknya akan semakin terbuka karena terjadi percampuran politik identitas dan politik rasionalitas. Adapun yang saya maksudkan sebagai politik identitas ialah soal Islam politik dan nasionalis sekuler. Islam Politik tentu tetap konsisten memilih Anies Baswedan, hal itu dikuatkan oleh kedekatan Anies selama ini. Sedangkan politik rasionalitas adalah pemilih yang menjadikan kinerja dan prestasi Anies dan Ganjar sebagai parameter memilih.
Pemilu 2024 nanti sudah tidak musimnya mempertarungkan soal Islam dan nasionalis. Publik sudah sadar hal bodoh tentang mengidentikan Islam is radikalis teroris dan nasionalis is PKI . Pemilu 2024 itu Pemilu yang idiologis rasionalis, artinya orang boleh saja menjadikan Islam sebagai piranti berkampanye tetapi setelah jadi pemimpin maka keberpihakan tetap rahmatan lil alamin. Menariknya, politik rahmatan lil alamin itu sudah dibuktikan Anies selama memimpin DKI Jakarta. Sebaliknya,Ganjar justru masih menggunakan narasi Islamophobia sebagai piranti kampanye politik. Jadi, jika para Buzzer sekarang masih saja menyerang Anis dengan isu politik identitas maka cara dan gaya itu sudah basi, ketinggalan zaman dan kuno.
Faktor yang mempengaruhi ialah variebel mediatory, perlu dimanage dan dikendalikan. Soal kinerja dan prestasi, Anies jauh lebih baik dan bagus dari Ganjar. Lantaran Anies bisa sukses keluar dari persoalan ekonomi dan kemiskinan sedangkan Ganjar tetap pada indeks yang sama bahkan dinilai Jawa Tengah sebagai provinsi termiskin di Jawa. Anies sukses membangun fasilitas publik dengan APBD tapi Ganjar tidak demikian,pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah dominan oleh APBN. Beberap konten Development and Gavermance lainnya bisa diadukan secara statistik, hasilnya Anies tetap di atas rata-rata.
Demokrasi yang ideal itu ialah menjadikan variabel mediatory sebagai pijakan review kelayakan capres. Tapi Pemilih kita belakangan ini masih tertipu dan dibodohkan oleh buzzer yang fokus menilai Capres dari identitas dan entitasnya. Misalnya sentimen Kadrun pada Anirs dan Cebong pada Ganjar ; Ganjar pribumi dan Anis non Pribumi,walau fakta sejarah keluarga Baswedan adalah pejuang kemerdekaan RI. Jadi, sentimen politik yang picik seperti itu justru memundurkan demokrasi kita.
Kecenderungan politik identitas itu memang sengaja diciptakan oleh kekuatan media yang kaloboratif secara ekonomi dengan kelompok kepentingan Politik. Kaloborasi seperti itu selalu diingkari oleh Politisi,tapi sikap membiarkan para buzzer berkeliaran itu juga sudah menunjukkan keberpihakan Politisi. Mereka yang selalu menyerang lawan dengan peluru identitas persona,menandakan bahwa para penyerang (Buzzer) dan patronnya itu tidak memiliki ilmu untuk berdialog dengan akal sehat dan tidak pula menyehatkan demokrasi.
Pemilu 2024 akan ada migrasi besar besaran ke Anies, masa yang akan bermigrasi adalah yang saya maksudkan dengan masa rasional. Mereka itu kecewa terhadap kinerja JKW sebagai petugas Partai PDIP. Jadi,kedua subjek itu (JKW dan PDIP) merupakan satu kesatuan yang menjadi sasaran politik kritis.
Anies sejak awal sudah cerdas memanage Islam politik sebagai gerakan kema’rufan untuk politik nasional. Islam boleh saja dijadikan sebagai rajutan politik to Islam penuh dengan ajaran ajaran politik demokrasi dan bernegara,jadi apa salahnya para muslimin menjadikannya sebagai semangat kebatinan,itu kan nilainya sama dengan Anda mengucapkan bismillahirrahmanirrahim saat akan bertugas sebagai pegawai atau pejabat Negara. Tetapi yang paling esensial ialah setelah jadi Gubernur,Anis ternyata tampilan dan kerja-kerjanya sangat nasionalis bahkan melebihi orang orang yang selama ini mengaku Nasionalis berpartai nasionalis.
Jadi, selalu Anies mengatakan “hadapi semua omongan di media itu, jangan jawab dengan kata-kata,tapi jawablah dengan kinerja”. Kalimat itu berbeda dengan narasi JKW yang “Kerja-Kerja-kerja” tetapi mengabaikan nilai dalam setiap pekerjaan dan capaiannya.
Sampai di sini harusnya sudah bisa difahamkan bahwa untuk membasmi Buzer itu sulit dengan kebijakan,karena justru buzzer itu buah skenario kekuasaan. Tapi melawan Buzzer dengan narasi kecerdasan dengan kemampuan merasionalisasikan fakta,data dan informasi serta strategi deseminasi yang tepat maka dalam waktu tak lama,para Buzzer itu bisa dikalahkan lalu kita akan memasuki ruang demoration election di 2024.
Publik sesudah cerdas,menilai mana yang hoax mana yang benar. Jadi,jangan dikira orang percaya, sebenarnya publik sedang menertawai para buzzer itu.