Kiprah KPK dan Anies Baswedan

Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Ketika dibentuk segera setelah gerakan reformasi bergulir, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) diniatkan sebagai lembaga yang bekerja independen dan efektif guna memberantas korupsi yang telah membudaya di negeri ini. Namun, kini independensi, efektivitas, integritas, dan kredibilitasnya, dipertanyakan.

Beberapa hari lalu, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, tindak korupsi di bawah rezim Jokowi telah merasuk ke seluruh cabang eksekutif, legislatif, dan yuikatif, dari pusat hingga daerah. Dengan pernyataan ini, secara tidak langsung ia mengisyaratkan KPK tidak lagi efektif menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.

Kiranya sinyalemen ini berkaitan dengan revisi UU KPK yang sangat mungkin didesakkan oligarki. Revisi itu kontroversial dan memicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa di berbagai daerah. Dua mahasiswa di Sulwesi Tenggara bahkan menjadi syuhada tertembak aparat. Memang revisi itu bertujuan memperlemah wewenang lembaga anti-rasuah itu, yang dituduh pemerintah sebagai biang kerok yang merintangi masuknya investasi. Bisa diduga, pelemahan itu merupakan pesan oligarki yang merasa terganggu oleh wewenang KPK yang terlalu besar.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyatakan ada 26 poin yang direvisi yang beresiko melumpuhkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di antara kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini.

Di saat demonstrasi mahasiswa membesar, DPR dan pemerintah mengklaim tuntutan mahasiswa — yang ingin KPK tetap kuat — telah dipenuhi. Padahal, UU KPK belum mencabut keberadaan Dewan Pengawas KPK, dilucutinya kewenangan KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang merumitkan proses penindakan.

Terungkapnya beberapa kasus megakorupsi, seperti korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri, yang bukan dibongkar KPK melainkan lembaga hukum lain mengungkapkan menurunnya kinerja KPK.

Terakhir, Kejaksaan Agung juga membongkar korupsi dalam skandal korupsi izin ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng itu sendiri. Ironisnya, saat skandal itu sedang disorot publik, KPK mengangkat isu lama yang meragukan, yang justru semakin menimbulkan tanda tanya mengenai independensi, integritas, dan kredibilitasnya.

Sebagaimana diketahui, pada 27 April, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan penyelidik KPK masih mengumpulkan informasi perihal berbagai aspek dalam perkara dugaan korupsi Formula-E. Hal ini diungkap dua hari setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Presiden Joko Widodo menginspeksi proyek sirkuit balap mobil listrik Formula-E.

Setelah inspeksi itu, Jokowi menyatakan apresiasinya atas perkembangan proyek yang hampir selesai dan berharap dia dan masyarakat dapat menonton balap internasional itu. Apresiasi itu, yang dinilai sebagai turning point sikap Jokowi terhadap Anies, memang dapat memberi insentif elektoral terhadap Anies yang digadang-gadang sebagai calon presiden potensial dalam pilpres 2024.

Sikap KPK itu merisaukan publik: mengapa tiap kali ada event yang diduga dapat meningkatkan populeritas dan elektabilitas Anies, KPK selalu bersuara sumbang? Kali ini dugaan korupsi Formula-E dimainkan. KPK mempersoalkan pembayaran fee senilai Rp 560 miliar.

Sikap KPK ini sama persis dengan sikap PDI-P dan PSI, dan para buzzerRp. Juga mengungkap kegelisahan oligarki yang melihat Anies sebagai musuh. Dengan begitu, wajar kalau kemudian ada yang mencurigai KPK telah menjadi kepanjangan tangan kekuatan politik dan ekonomi. Toh, PDI-P dan PSI selalu mencela apa pun kebijakan yang diambil Anies guna mencegahnya menjadi capres. Oligarki juga melihat Anies sebagai musuh besarnya setelah ia menghentikan proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta bernilai Rp 500 triliun. Sementara itu, Anies kini menjadi salah satu dari tiga aspiran capres yang konsisten berada di peringkat tiga besar bersama Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Terkait pernyataan Alexander Marwata, tahun lalu Anies telah memenuhi panggilan KPK dan telah pula menyerahkan setumpuk dokumen Formula-E. Sejak itu, tujuh bulan telah berlalu tanpa KPK mampu menemukan bukti atas dugaannya. Seharusnya KPK bekerja profesional dengan menjaga independensi, integritas, dan kredibilitasnya, demi menjaga marwahnya sebagai lembaga anti-rasuah yang diandalkan publik.

Artinya, kalau KPK tidak menemukan bukti dalam kasus Formula-E, maka kasusnya harus dihentikan. Sebaliknya, bila ada bukti permulaan yang cukup, maka KPK dapat langsung menetapkan tersangkanya. Mestinya, dugaan adanya korupsi Formula-E mudah dibuktikan karena Anies sangat transparan.

Bila dikaitkan dengan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memeriksa segala jeroan Pemprov DKI yang selalu memberi nilai Wajar Tanpa Perkecualian sepanjang Anies menjadi gubernurnya — yang belum pernah dicapai gubernur DKI mana pun, termasuk Ahok yang dipuja PDI-P, PSI, buzzerRp, dan oligarki — pernyataan Alexander itu menimbulkan tanda tanya atas profesionalitas KPK.

Apalagi ada dua kasus korupsi lain yang penanganannya oleh KPK mengganggu nurani dan akal sehat publik. Pertama, kasus Harun Masiku, kader PDI-P. Kasus penyogokan Masiku terhadap komisioner KPU yang telah berlangsung lebih dari dua tahun belum juga menemui titik terang dan, aneh, Masiku belum juga tertangkap kalau dia masih hidup.

Penyebabnya — yang telah menjadi rahasia umum — kasus Masiku melibatkan petinggi PDI-P. Kalau kita melihat kasus korupsi lain yang lebih njelimet dan berisiko di mana KPK (sebelum dilemahkan) berhasil mengungkapnya, maka loyonya KPK terkait Masiku hanya menegaskan betapa KPK saat ini tak punya nyali untuk membongkarnya. Komisioner KPK yang bernyali dan independen, seperti Novel Baswedan, malah dipecat dari KPK.

Kedua, kasus E-KTP. Lagi-lagi KPK terlihat lumpuh ketika menghadapi kasus yang melibatkan petinggi partai berkuasa. Menurut pengakuan Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, Ganjar Pranowo menerima US$ 520 ribu dalam kasus yang melahap uang rakyat lebih dari Rp 2 triliun itu. Ketika itu, Ganjar duduk di Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P.

Nazaruddin bersumpah di pengadilan bahwa dia menyaksikan sendiri penyerahan uang besar itu kepada Ganjar. Pengakuan Ganjar ini konsisten dengan pengakuan Ketua DPR Setya Novanto. Bahkan, Novanto juga bilang Puan Maharani dan Pramono Anung, keduanya dari PDI-P, ikut menikmat pesta korupsi itu.

Kendati hampir mustahil Nazaruddin berbohong — karena resikonya sangat besar — sampai hari ini KPK menyatakan belum menemukan satu pun bukti permulaan terkait Ganjar. Ganjar memang sudah dipanggil bersaksi di pengadilan. Bagaimanapun, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manakala korupsi melibatkan orang penting partai, maka kasusnya akan dipetieskan.

Kasus Ganjar diduga tak bisa dibongkar karena akan menyeret petinggi partai yang sangat powerful. Anies terus dicari-cari kesalahannya karena posisinya lemah. Karena bukan kader parpol mana pun, maka diduga Anies menjadi target mainan KPK. Diduga, ke depan, terutama setelah Anies telah resmi menjadi capres, kasus Formula-E akan terus dimainkan. Bukan tidak mungkin duit besar dari para oligark akan mengalir ke lembaga penegak hukum untuk menumbangkan Anies.

Memang menyedihkan. Tapi beginilah bila oligarki parpol berselingkuh dengan oligarki ekonomi untuk menghantam calon pemimpin yang akan menghantam status quo. Status quo yang telah menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan putus asa demi melayani kepentingan mereka yang rakus.

Tangsel, 29 April 2022

Simak berita dan artikel lainnya di Google News