Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Tak disangka-sangka, pada 25 April lalu Presiden Joko Widodo memerlihatkan sikap bersahabat terhadap Anies Baswedan ketika ia mendampingi Gubernur DKI itu mengunjungi proyek sirkuit balapan mobil listrik formula-E. Kepada wartawan Jokowi dengan wajah sumringah menyatakan, sirkuitnya sudah selesai dibangun dan berharap dia dan masyarakat Indonesia dapat menonton balap internasional itu pada Juni mendatang. Dengan ini Jokowi secara implisit mengekspresikan penghargaannya pada kerja Anies.
Mempertimbangkan sikap kurang bersahabat Jokowi terhadao Anies selama ini, peristiwa 25 April itu merupakan turning point. Itu memang gimmick politik Jokowi saat orang kepercayaannya, Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), sedang ditekan PDI-P terkait skandal korupsi ekspor minyak goreng yang bisa jadi melibatkan LBP dan putera Jokowi, Kaesang Pangarep.
Saya katakan ini titik balik berdasarkan fakta berikut. Ketika Anies meresmikan Jakarta International Stadium (JIS) beberapa hari lalu, Jokowi ogah hadir. Padahal, JIS adalah proyek prestisius yang bukan hanya akan mengangkat Jakarta di arena internasional, tapi juga Indonesia secara keseluruhan. Maklum, JIS adalah salah satu lapangan sepak bola termegah di dunia, hasil karya anak bangsa. Dan proyek ini sudah menjadi mimpi para gubernur sebelumnya, termasuk Jokowi.
Sikap Jokowi memunggungi Anies sudah berlangsung sejak Anies mengalahkan Ahok dukungan Jokowi dalam pilgub Jakarta 2017. Apalagi setelah itu Anies menghentikan proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta bernilai 500 triliun rupiah yang didukung Jokowi sebagai balas budi pada oligarki.
Jokowi pun terlihat menikmati resistensi PDI-P dan PSI Jakarta yang konsisten mencela setiap kebjakan Anies. Bahkan, istana memelihara buzzer-buzzer fanatik dan intoleran yang bertugas melakukan pembunuhan karakter (character assassination) dan menghancurkan reputasi Anies.
Para buzzer menyematkan gelar kadrun kepada Anies, julukan peyoratif yang menyamakan Anies dengan kaum intoleran, radikal, bodoh, dan pendukung khilafah. Tentu saja istilah ini tak dapat dipertanggungjawabkan yang hanya dimaksudkan untuk mengejek dan membungkam kubu anti-Jokowi.
Skandal KKN dalam kasus ekspor minyak goreng untuk sementara melibatkan empat orang tersangka. Masing-masing adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agriindustri/Permata Hijau Grup, Stanley MA; dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Picare Tagore Sitanggang.
Kejaksaan menilai tindakan mereka telah menyebabkan kelangkaan dan mahalnya harga migor. Kasus ini telah ditelisik Kejaksaan Agung sejak Januari 2021 hingga Maret 2022. Ketika itu, pemerintah melalui kemendag mengambil kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO) agar perusahaan yang mengekspor migor dapat diregulasi.
Indrasari Wisnu Wardhana kemudian mengeluarkan izin ekspor migor kepada tiga perusahaan di atas dengan melanggar DPO dan DMO. Artinya, mereka diberi izin ketika Kewajiban Harga Domestik (DPO) dan Kewajban Pasar Domestik (DMO) tidak mereka penuhi. Akibatnya, migor langka dan harganya melejit tak terkendali.
Lalu, beredar foto LBP dan Tumanggor “memamerkan” kedekatan hubungan keduanya. Kebetulan PT Wilmar Nabati berkongsi dengan perusahaan LBP dalam usaha kelapa sawit. Lebih jauh, PT Wilmar Nabati juga merupakan sponsor klub sepak bola Solo yang dimiliki Kaesang Pangarep.
Begitu skandal itu terbongkar, Kaesang langsung memutuskan hubungan dengan perusahaan yang mengalirkan dana kepadanya. Jokowi pun langsung mengambil langkah irasional dengan perintah menghentikan ekspor bahan baku dan migor itu sendiri, kebijakan yang kemudian diralat sendiri sebelum diimplementasikan dengan hanya melarang ekspor bahan baku migor. Memang bila migor pun dilarang, petani sawit akan menderita, pendapatan negara menyusut, dan pasar internasional akan marah.
Sikap Jokowi dan Pangarep yang terkesan panik, mau tak mau menimbulkan kecurigaan publik. Terlihat jelas keduanya ingin memasang jarak dan hendak menegaskan bahwa mereka tidak terlibat kongkalikong Indrasari dengan tiga perusahaan itu. Namun, itu tak otomatis menghilangkan kecurigaan publik. Sebaliknya, publik mencium ada yang tak beres dalam kasus itu.
Apalagi, pemberian izin ekspor dihubungkan dengan upaya rezim Jokowi mengumpulkan dana untuk membiayai rencana perpanjangan masa jabatan presiden. LBP diketahui otak di balik mobilisasi dukungan untuk presidensi tiga periode.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengaku memiliki informasi terkait pengumpulan dana (fund rising) untuk membiayai wacana penundaan pemilu 2024 dari kasus ini. “Ya, saya ada informasi menyampaikan ke saya bahwa ada memberikan sinyalemen ya, menduga bahwa sebagian dari kelangkaan minyak goreng dan kemudian harganya dibikin mahal dan mereka mengutamakan ekspor karena kebutuhan fund rising. Untuk memelihara dan menunda pemilu itu,” katanya.
Memang diketahui, PDI-P tidak sreg dengan LBP yang menguasai Jokowi. Karena itu, parpol ini menolak wacana penundaan pemilu atau peranjangan masa jabatan presiden yang diduga digagas LBP. Maka, apa yang diungkapkan Masinton — yang dipastikan dengan persetujuan Megawati — merupakan ekspresi ketidaksukaan pada LBP, sekaligus untuk menghancurkannya.
Sikap ini bertolak dari asumsi bahwa Jokowi tidak tahu apa-apa terhadap prakarsa LBP terkait tiga periode dan skandal ekspor migor. Namun, asumsi ini jelas keliru, terutama bila kita melihat sikap Jokowi sebelumnya yang mendukung wacana tiga periode dan sikap paniknya terkait skandal migor. Kendati LBP sangat berkuasa, nyaris mustahil kiprah LBP — termasuk upaya fund rising — tidak diketahui Jokowi.
Kalau Kejaksaan Agung serius membongkar skandal migor — yang sudah pasti dengan sokongan PDI-P — maka mungkin tidak hanya dapat menyeret LBP, tapi juga Jokowi. LBP pasti tak mau menjadi pesakitan sendirian. Artinya, kalau terbukti LBP bermain dalam kasus ini, ia akan membongkar semua pihak yang terlibat, termasuk Jokowi.
Pertanyaannya: apakah Kejaksaan Agung serius menangani skandal ini secara profesional seperti janjinya meskipun kasus ini dapat menjadi kotak pandora yang mencelakakan Jokowi? Keterseretan Jokowi tentunya bukan hal yang diinginkan PDI-P.
Bagaimanapun, hubungan Jokowi-PDI-P kurang harmonis terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan kecenderungan Jokowi mendukung Ganjar Pranowo untuk maju dalam pilpres 2024. Padahal, PDI-P ingin memajukan pasangan Prabowo-Puan.
Dibongkarnya skandal migor lebih jauh membuat Jokowi merasa tidak aman. Dus, untuk pertama kalinya dia merasa terjepit antara PDI-P dan oposisi di saat populeritasnya anjlok hingga 15 persen sesuai hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis baru-baru ini.
Dalam konteks inilah Jokowi mendekati Anies Baswedan, yang simpatisannya diketahui berseberangan dengan Jokowi. Pendukung Anies cukup besar, yang datang dari berbagai lapisan sosial dan ideologi. Langkah Jokowi “merangkul” Anies harus juga dilihat sebagai bargaining chips Jokowi vis a vis PDI-P. Artinya, kalau PDI-P melanjutkan tekanan atas LBP — yang akan menyeret Jokowi — untuk membongkar skandal ekspor migor hingga ke akar-akarnya, Jokowi tak akan segan memainkan politik asosiasi sebagaimana yang ia tunjukan ketika “merangkul” Anies.
Dukungan Jokowi pada aspiran capres tak bisa dianggap remeh. PDI-P jelas menghendaki coattail effect Jokowi untuk mendongkrak elektabilitas Puan dalam pilpres tanpa petahana yang sangat kompetitif itu. Maka, sangat mungkin magnitude skandar migor dibatasi hanya pada orang-orang tertentu saja untuk menyelamatkan Jokowi. Tapi tidak ada jaminan Jokowi aman kalau kasus ini kemudian menjadi bola liar.
Langkah Jokowi “merangkul” Anies juga berdimensi internasional. Beberapa waktu lalu, Departemen Luar Negeri AS merilis laporan HAM di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu yang disorot AS adalah kasus pembunuhan enam laskar FPI di Km 50. AS melihatnya sebagai unlawful atau political motivated killing: pembunuhan melanggar hukum atau bermotif politik. Ini isyarat AS ingin berbaikan dengan kubu Islam Indonesia penentang Jokowi ketika NU bersikap akomodatif terhadap Cina.
Bagamanapun, insiden itu terjadi di tengah represi rezim Jokowi terhadap kubu Islam konservatif antipemerintah yang dituduh radikal. Diksi radikal ini menimbulkan masalah karena tidak sesuai dengan pemaknaannya yang sebenarnya. Kasus Km 50, ditambah pemenjaraan tokoh-tokoh Islam dan simpatisannya, membuat oposisi kaum Muslim konservatif terhadap rezim Jokowi meluas. Kendati Anies bersikap netral dalam perseteruan Jokowi-oposisi, Anies mendapat simpati luas kaum Muslim oposan, seakan ia salah satu dari mereka.
Manuver Jokowi “merangkul” Anies juga harus dilihat sebagai langkah rekonsiliasi Jokowi dengan Muslim oposan, yang belakangan ini dilihat AS sebagai modal politik dalam konteks kompetisi AS dan Cina di Indo-Pasifik, khususnya di Laut Cina Selatan di mana Cina makin asertif. Apapun, pendekatan Jokowi terhadap Anies akan memberi insentif elektoral pada Anies, tokoh yang diharapkan AS memimpin Indonesia pada 2024. Mungkin ini juga yang memunculkan selentingan bahwa PDI-P telah membuka komunikasi dengan Anies terkait pilpres 2024.
Tangsel, 28 April 2022