Oleh: *Yusuf Blegur
Semakin Anies dibully, sejauh itu Anies mengukir prestasi. Semakin Anies dihujat, seiring itu Anies menjadi kuat. Semakin Anies disingkirkan, seketika itu Anies diunggulkan dan meraih luasnya dukungan. Pun demikian, itu tidak serta merta memuluskan Anies menjadi presiden dalam pilpres 2024. Sesungguhnya, Anies masih menempuh jalan terjal dan batu sandungan melewati proses itu.
Kenapa sampai saat ini Anies belum beririsan dan merapat ke Oligarki? Sebab, saat namanya terus melambung menghiasi bursa capres jelang pilpres 2024. Muncul premis sulitnya menduduki kursi presiden saat sistem pemilu yang masih sangat kapitalistik dan transaksional. Lalu apa yang akan dilakukan Anies untuk menyiapkan diri menghadapi pesta demokrasi yang begitu berbiaya tinggi. Akankah Anies larut mengikuti persfektif itu untuk sekedar mendapat sokongan politik berupa finansial dari pemilik modal besar. Mungkin juga Anies telah mengambil sikap tegas berjarak dengan oligarki yang kadung menjadi musuh rakyat.
Kemudian bagaimana dengan dukungan partai politik terhadap Anies. Adakah kepastian dari partai politik yang akan mengusung Anies sebagai capresnya. Kelangsungan pencalonan dan persaingan merebut kursi orang nomor satu di Indonesia, mutlak ditentukan oleh peran dan kewenangan partai politik. Sejauh mana pendekatan dan lobi-lobi politik telah dilakukan Anies dalam menghadapi salah satu mekanisme formal dan faktor utama pencalonan presiden itu. Mungkin ya mungkin juga tidak, telah ada hikmah permusyawaratan antara Anies dengan partai politik tertentu.
Kadang terbesit juga pikiran-pikiran yang merisaukan. Bahwasanya yang mengganjal Anies menjadi presiden, faktor krusialnya bukan dari dukungan rakyat. Melainkan pada proses penyelenggaran pemilu dan kinerja KPU. Sebuah kekhawatiran yang wajar mengingat KPU tak pernah lepas dari kontroversi dan polemik kecendeungan potensi penyimpangan perhitungan suara. KPU seperti terlanjur dianggap sering menjadi mesin politik kepentingan tertentu untuk menggapai jalan pintas kekuasaan. Fenomena KPU yang seakan bagai hukum tak tertulis, dan menyiratkan pentingnya pengawasan ketat publik.
Hal lain yang mengemuka, terkait tinjauan personal menyoal kehidupan pribadi dan keluarga. Ini juga memiliki korelasi yang tinggi dengan wacana pencapresannya yang semakin deras bergulir.
Sebut saja tentang kepemimpinannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Apa yang sudah menjadi prestasinya dan kekurangannya, termasuk bahkan kegagalannya jika ada. Soal lain yang tak kalah penting dan menarik, ketika Anies distigmakan dengan politik identitas yang kental diikuti tudingan figurnya yang dicap intoleran, radikal dan fundamental. Pelbagai serangan dan gempuran yang mencoba menutupi Anies yang sejatinya nasionalis dan berwawasan kebangsaan. Ada upaya dari kelompok tertentu yang berusaha melekatkan figur Anies sebagai pemimpin yang membahayakan kebhinnekaan dan kemajemukan.
Lebih dari itu dan tak tanggung-tanggung, sorotan juga mulai mengarah ke wilayah yang privacy. Masuk ke dalam ranah syar’i dan sensitif, mengusik sisi-sisi kehidupan spiritual dan keagamaan keluarga Anies. Tentang anak perempuan Anies yang tidak berhijab, akhirnya muncul juga ke permukaan. Sepertinya bagi kepentingan yang tidak bersesuaian dengan karir politik Anies lebih jauh, ini celah yang bisa digoreng-goreng tanpa minyaknya yang kebetulan susah didapat karena langka dan mahal.
Semua anasir-anasir politik dan juga menjadi keingintahuan sebagian besar masyarakat. Sejatinya bukan sesuatu yang tabu, harus ditutup-tutupi dan mendorong rasa enggan untuk menjadi pemahaman publik. Boleh jadi, tak ingin “membeli kucing dalam karung” dan terus dimanfaatkan suaranya dalam pemilu. Rakyat sudah bosan dengan kebohongan para pemimpin pencitraan dan pengumbar janji tak bertepi.
Apa yang menjadi sejumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlepas ada tendesi tertentu, telah menjadi komoditas politik dan bahkan cenderung menjadi kampanye negatif yang bisa berimplikasi pada pembunuhan Karakter Anies. Tentulah harus disikapi wajar dan biasa saja. Justru hal-hal yang demikian, menjadi momentum yang kondusif untuk seluruh rakyat Indonesia dapat mengenal dan memahami sekaligus lebih dekat dengan Anies. Menjadi layak ketika rakyat menginginkan pemimpinnya menjadi figur yang cenderung sempurna, setidaknya kediriannya berlimpah kebaikannya ketimbang kesalahannya.
Begitupun bagi Anies. Ada peluang membangun opini dan rasionalisasi yang lebih utuh juga bertanggungjawab terhadap figur Anies dari semua aspek dan dinamika kepemimpinannya. Bukan sekedar persoalan elektabilitas semata, Anies berkesempatan mengupas tuntas tentang keraguan sekaligus ekspektasi rakyat selama ini.
Dari sikap skeptis dan apriori yang silih berganti dan seiring-sejalan dengan harapan dan dukungan rakyat terhadap Anies. Seakan menegaskan masih terbelahnya sikap publik terhadap
proyeksi Anies sebagai presiden Indonesia pasca Jokowi.
Apakah Anies mampu memenuhi rasa keingintahuan dan penasaran sebagian besar rakyat? Apakah pertanyaan-pertanyaan itu menjadi sesuatu yang menjadi proses “down greeding” atau “up greeding” bagi figur Anies?. Dalam politik selevel pilpres yang melingkupi kepentingan nasional dan internasional, politik jegal menjegal memang menjadi skenario yang tak terpisahkan.
Lalu apa jawabannya. Bagaimana Anies akan merasionalkannya? Akankah ini menjadi episode yang menghentikannya atau malah membesarkannya menuju pilpres 2024?.
Menjadi penghalang atau menjadi ajang pembuktian bagi Anies Baswedan?
*Mantan Presidium GMNI