Memeras Rakyat dengan BPJS Kesehatan

Oleh: Abdurrahman Syebubakar (Kritikus Sospol dan Inisiator Majelis Habaib Progresif)

Sesuai konstitusi, penyediaan layanan sosial dasar seperti layanan kesehatan merupakan kewajiban negara yang diwakili pemerintah dan menjadi hak rakyat untuk mendapatkannya.

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan layanan kesehatan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (UUD 1945 Pasal 28H Ayat 1 dan 3).

Lebih lanjut, ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2 dan 3, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Jaminan sosial kesehatan sebagai wujud pelaksanaan mandat konstitusi seyogyanya memberikan layanan dan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa dipungut biaya, terlepas dari status sosial ekonomi mereka, baik warga miskin maupun non-miskin.

Namun, BPJS Kesehatan mewajibkan setiap orang membayar iuran, kecuali kelompok miskin dan rentan miskin. Apalagi banyak diantara kelompok ini tidak menerima subsidi iuran dari pemerintah. Besarnya iuran jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala (UU No.40 Tahun 2004 tentang JSN).

Konsekuensinya, iuran cenderung naik ketika kondisi ekonomi kurang baik dan prioritas anggaran negara diarahkan ke sektor lain terutama infrastruktur fisik.

Dengan kualitas pelayanan kesehatan yang jauh dari optimal, kinerja manajemen BPJS yang kurang baik dan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat, dua tahun lalu – pada Januari 2020, pemerintah menaikkan biaya iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen. Kenaikan ini menjadi satu paket dengan kenaikan tarif tol sebagai kado awal tahun buat rakyat dari Presiden Jokowi pada saat itu.

Yang lebih tragis, selain memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda kepada peserta yang tidak memenuhi kewajibannya, pemerintah juga menghukum penunggak iuran BPJS Kesehatan dengan sanksi berat – tidak mendapat pelayanan publik, seperti pembuatan SIM, STNK, Paspor, IMB, Sertifikat Tanah dan layanan publik lainnya.

Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan jual beli tanah.

Dalam hal ini, negara merampas hak rakyat untuk hidup layak dan bermartabat, terutama rakyat miskin dan kurang mampu. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Tak ayal, penderitaan (deprivasi) mereka semakin dalam dan luas.

Terlebih penduduk Indonesia yang tergolong kurang mampu, dengan pengeluaran di bawah Rp.2 juta per bulan, telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Termasuk di dalamnya kelompok miskin dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan nasional (GK), rentan miskin dengan pengeluaran 1 – 1,5 kali GK, dan kelas menengah baru dengan pengeluaran 1,5 – 3,5 kali GK (World Bank 2019). Menurut catatan BPS, Garis Kemiskinan pada September 2021 sebesar Rp486.168, -/kapita/bulan.

Dengan adanya pandemi COVID-19, kondisi kelompok tersebut sangat tertekan dengan tingkat penderitaan yang makin dalam. Jumlah mereka (diperkirakan) bertambah akibat hilangnya sumber mata pencaharian dan kesempatan kerja sebagai dampak pandemi. Kondisi kehidupan mereka makin memperihatinkan dengan meroketnya harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya.

Sementara, rakyat miskin dan rentan miskin yang menjadi Penerima Bantuan Iuran-Program Indonesia Sehat (PBI-PIS) jumlahnya terbatas, tidak lebih dari 100 juta jiwa, dengan kualitas layanan pas-pasan. Dan masih banyak diantara mereka tidak menerima program subsidi tersebut karena tingginya tingkat kesalahan (inclusion dan exclusion errors) dalam penetapan penerima bantuan. Tidak sedikit pula pemegang kartu PIS yang tidak dapat memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan akibat proses yang bertele tele dan rumit.

Dus, pemerintahan Jokowi tidak saja mengingkari hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa dipungut biaya (azas universalitas), sesuai amanat konstitusi tetapi juga memeras dan menghukum mereka dengan mencabut hak-hak konstitusional lainnya.

Pelayanan publik adalah hak dasar setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Jika tidak bisa dipenuhi, maka sesungguhnya Indonesia telah menjadi negara gagal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News