by M Rizal Fadillah
Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden baik melalui penundaan Pemilu maupun amandemen UUD 1945, telah menyedot perhatian. Wacana digulirkan sehingga diduga menjadi agenda. Pernyataan tiga Ketum Partai soal penundaan Pemilu dan mobilisasi Kepala Desa yang bersiap untuk deklarasi adalah bukti keseriusan itu.
Dilain pihak aksi Mahasiswa juga menghangat. Mereka mendesak agar gagasan inkonstitusional di atas segera dihentikan atau dicabut. No way untuk penundaan Pemilu dan amandemen 3 periode. Jokowi sedikit mereaksi dengan meminta para pembantunya tidak berbicara lagi soal perpanjangan masa jabatan tersebut.
Rakyat tidak percaya pada ketulusan instruksi tersebut.
Jokowi masih bermain-main. Besok mungkin ia akan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa melarang aspirasi masyarakat yang mendukung perpanjangan. Ini bagian dari demokrasi, bagian dari dinamika politik dan bla bla bla lainnya. Intinya ia bahagia sukses melakukan mobilisasi dukungan palsu. Luhut Binsar menjadi komandan tertinggi dari operasi jokowi maju terus dan menjadi raja lagi.
Jika Jokowi tidak memiliki niat untuk memperpanjang masa jabatan caranya bukan dengan melarang pembantu-pembantunya atau mengutus Moeldoko dan Wiranto untuk meredam, tetapi Jokowi sendiri yang harus tampil di depan publik dengan berpidato menegaskan bahwa ia tidak akan memperpanjang masa jabatan. Selesai.
Masalahnya adalah benarkah omongan dulu soal “menjerumuskan” dan “menampar muka” masih berlaku dan serius akan dilaksanakan ? Ini yang diragukan sebab bohong dan omong doang disadari atau tidak telah melekat menjadi “trade mark” Jokowi sendiri. Membuat kepercayaan rakyat kepadanya menjadi habis kecuali para penjilat, penampar, dan penjerumus.
Sebenarnya jika arif dan berkalkulasi maka pilihan untuk segera ngomong berpidato tentang tidak akan memperpanjang jabatan menjadi modal lumayan untuk mengakhiri dengan baik. Tetapi jika tidak, maka teriakan perlawanan atas perpanjangan itu akan semakin keras. Lalu menggelinding kuat pada desakan mundur. Celakanya justru berujung pada dimundurkan.
Jokowi berada di ujung tanduk sejarah. Cobalah belusukan kembali tanpa menjadi sinterklas yang membagi-bagi hadiah atau membawa minyak goreng, rasakan denyut rakyat secara obyektif. Mereka tidak ingin ada perpanjangan, mereka sudah ingin mengakhiri penderitaan, mereka sudah ingin perubahan, dan pastinya mereka sudah ingin ganti Presiden.
Sejak mulai masuk got maka Jokowi menjadi gotik sebagaimana kaum barbarian Jerman Timur Gothic. Negara ini dikelola dengan orientasi investasi yang nyatanya hanya menyuburkan kroni dan memperkuat oligarki. Lalu mengacak-acak politik, ekonomi, hukum maupun agama. Terkesan dibawa semau-maunya.
Kaum Ghotik adalah satanik yang paganistik, kejam, dan mengalienasi agama. Porak poranda oleh Romawi dan menyisakan kelompok terbesar Visigoth. Meski rontok tetapi masih mampu mengganggu. Visigoth bertahan dan berhasil memperpanjang kekuasaannya.
Semoga Pak Jokowi tidak ngotot untuk memperpanjang masa jabatan. Karenanya cepat ngomong dong. Jangan sampai terlambat. Pidato lah bahwa ia tidak akan menunda Pemilu atau mendorong amandemen Konstitusi. Lalu stop wacana atau gerakan yang mendorong ke arah perpanjangan tersebut. Fokus untuk mengakhiri jabatan dengan baik.
Atau memang Pak Jokowi ingin merealisasikan visi got yaitu visi untuk tetap mengalir di lorong panjang yang tak berbatas dan berair kotor ? Cara barbar kaum Goth.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 10 April 2022