Oleh: *Yusuf Blegur
Tak ubahnya eksistensi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI yang telah lama mengalami mati suri.
Teriakan saya Panca Sila, saya Indonesia dan saya NKRI terasa tanpa arti dan terkesan membohongi diri.
Begitupun keinginan presiden 3 periode yang deras mengucur melalui mobilisasi.
Seolah-olah seperti memaksakan Jokowi harga mati, padahal sesungguhnya merupakan kejahatan konstitusi dan manuver sarat manipulasi.
Saat agenda reformasi jauh dari tuntas dan terlanjur diselewengkan.
Apa yang digugat dan ditentang dari ORBA dulu, kini fakta sesudahnya lebih buruk dan jahat dilakukan.
Negeri semakin jauh dari keberadaban dan dipenuhi kemunafikan.
Menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan berjamaah berlomba-lomba memburu harta, jabatan dan kekuasaan.
Turunkan harga-harga kebutuhan pokok, berantas KKN, tolak militerisasi dan periode jabatan presiden dibatasi cukup dua kali.
Tuntutan arus gelombang demonstrasi yang menjadi gerakan “people power” bersejarah itu, seperti akan terulang kembali.
Negeri dibawah rezim tirani semakin menyuburkan penyelengaraan pemerintahan dengan beragam distorsi dan kontradiksi.
Kekuasaan berwajah kapitalisme yang menopang liberalisasi dan sekulerisasi, tumbuh subur berkembangbiak menjadi oligarki.
Seperti era 1965 dan 1998, mahasiswa kembali terpanggil menjadi motor perubahan.
Menjadi “avant garde” memimpin massa aksi emak-emak, buruh tani nelayan, korban penggusuran dan penindasan proyek pertambangan serta pelbagai entitas gerakan spartan perlawanan.
Selain menyelamatkan perjalanan 22 tahun agenda reformasi dari masa kegelapan.
Dengan revolusi atau tanpa revolusi melawan kesurupan Jokowi harga mati untuk presiden 3 periode, di atas segalanya dan jauh lebih penting dari itu, rakyat serta negara dan bangsa Indonesia yang harus diselamatkan.
*Mantan Presidium GMNI