Puspita Satyawati (Aktivis Muslimah di Yogyakarta)
Senja melembayung di ufuk barat langit Malioboro, Yogyakarta, Ahad (27/3/2023). Ada yang tak biasa di salah satu kawasan eksotik di Kota Pendidikan dan Budaya ini. Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, ratusan-ada yang menyebut ribuan- manusia hanyut dalam bacaan Al-Qur’an Surat Yasin. Mereka mengikuti gelaran Jogja Mengaji oleh Badan Wakaf Al-Qur’an, Real Masjid, dan sejumlah elemen kaum Muslimin di Yogyakarta.
Syahdu. Beberapa pejalan kaki bahkan berhenti, sejenak terpaku, terlihat wajah sendu, bahkan berlinang air mata haru. Hati mukmin siapa yang tak bergetar kala mendengar kalimat suci terlantunkan. Dilisankan oleh ribuan bibir yang khusyuk membacanya.
Ya, karena Al-Qur’an memiliki mukjizat, salah satunya i’jaz, kemampuan untuk melemahkan. Membuat hati-hati suci merasa tak berdaya saat mendengar lantunan firman Allah Ta’ala.
Namun, di balik syahdu dan indahnya suasana religius yang terpendar petang itu, ternyata memantik ketidakrelaan, atau -entah- kecemburuan dari hati-hati yang mungkin ditumbuhi hasad, pun benci. Berbagai “serangan opini” terus dialamatkan. Dari tuduhan bangkitnya kaum radikalis, riya’ alias pamer, sok alim, agresi peradaban asing, hingga menguasai ruang publik.
***
Lantas, salahnya di mana saat ribuan orang duduk bersama membaca Al-Qur’an di kawasan publik? Enggak menganggu pemakai jalan, enggak pakai TOA. Secara legal formal, enggak ada yang disalahi. Secara norma agama, apalagi.
Mengapa dipersoalkan? Karena Malioboro jantungnya Kota Budaya? Bukankah membaca Al-Qur’an adalah budaya islami yang baik dalam rangka membaca dan memahami kalam ilahi?
Mengapa budaya gaul bebas ala Barat yang selama ini tak malu dipertontonkan di kawasan itu, seperti remaja berpacaran: berduaan, bergandengan, berpelukan, tak ada yang meributkan?
Buang sesajen di perempatan Titik Nol yang bisa jatuh pada budaya syirik, menduakan Allah SWT, tidak ada yang mempermasalahkan? Jadi, yang ribut-ribut soal mengaji bareng ini sejatinya siapa?
Apakah membaca Al-Qur’an di ruang publik itu riya’? Sesungguhnya siapa yang mengetahui riya’ di hati manusia lainnya, kecuali pelaku itu sendiri dan Allah? Soal membumikan Al-Quran memang mesti disyiarkan: disosialisasikan, disampaikan, dicontohkan, disuasanakan. Ada yang salah dengan syiar Al-Qur’an di kawasan publik? Enggak selalu syiar Islam dilakukan di masjid. Toh membacanya tidak di tempat bernajis seperti WC.
Lalu, bagaimana dengan ratusan Muslim yang shalat tarawih pinggiran jalan secara terbuka di Time Square New York, Amerika Serikat? Di negara biangnya sekularisme saja, hal itu tidak menuai protes. Sementara, orang membaca Al-Qur’an bersama di sepanjang sisi utara Malioboro hanya puluhan menit, mendapatkan cibiran sinis dari beberapa penduduk di negeri Pancasila berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
***
Radikalis. Hmm… Sebuah diksi mengada-ada yang disematkan pada kegiatan mengaji bersama. Apa ada aksi radikal (kekerasan) yang dilakukan peserta Jogja Mengaji? Mencegat pejalan kaki agar tak melintasi lokasi kegiatan, membentak, mengusir, memukul? Apakah membaca Al-Qur’an adalah tindakan radikal? Radikalnya di mana?
Sementara dalam Al-Qur’an Surat Al Ma’idah: 77, Allah SWT melarang hamba-Nya bersikap ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem). Radikalisme, ekstremisme, terorisme, jelas perilaku berlebihan yang dilarang dalam agama.
Radikal radikul. Kenapa istilah ini sering disematkan pada sosok Muslim yang berupaya taat menjalankan ajaran agamanya? Realitasnya, radikal selalu disandingkan dengan kata Islam dan Muslim. Ada istilah Islam radikal. Tapi tak ada Hindu radikal, Budha radikal, dan seterusnya. Diduga kuat, sasaran tembak narasi radikal radikul adalah Islam dan pemeluknya. Untuk apa?
Ketika pandemi Covid-19 belum bertepi, harga minyak goreng membubung tinggi, teror KKB di Papua menjadi-jadi, mengapa membaca Al-Qur’an bersama di tempat umum dipersoalkan atas nama radikal radikul?
Benarkah radikal radikul adalah problem sejati negeri ini? Bukankah ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan justru bersumber dari penerapan sekularisme kapitalistik? Ini lebih layak dituding sebagai sumber masalah bangsa. Bukan radikal radikul!
Jangan kambing hitamkan narasi ini demi menutupi keloyoan penyelesaian problematika bangsa. Apalagi mengaitkannya dengan Islam dan Muslim. Menyematkan radikal radikul pada Islam dan kaum Muslimin adalah propaganda kedustaan yang harus dilawan dengan edukasi benar pada masyarakat. Karena Islam bukan radikalisme. Pun Muslim bukanlah radikalis.
Kota Gudheg dan Bakpia,
Senin (3 Ramadhan 1443H)