Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho, mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengenai nilai aset yang obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Kalau dinyatakan telah menyita sebanyak 19,9 juta meter tanah lalu nilainya Rp 19 triliun ini saya kira tidak elok dikeluarkan oleh Menteri yang mengerti hukum. Aset itu kan belum dijual, belum jadi uang cash untuk membayar ganti rugi utang mereka yang nilainya sudah jelas itu,” kata Hardjuno dalam dikusi “Quo Vadis BLBI” di Yogyakarta Sabtu (2/4).
Seperti diketahui, pada Jumat (1/4) Menko Polhukan Mahfud MD selaku Satgas BLBI membuat pernyataan pers bahwa Satgas BLBI telah sukses menyita aset senilai Rp 19 triliun.
“Sampai saat ini, Satgas BLBI sudah berhasil menyita aset tanah sebesar 19.988.942,35 (19,9 juta) meter persegi yang kalau dinilai dengan uang seluruhnya dengan perhitungan konservatif dengan hitungan rata-rata sebesar Rp 19.134.633.815.293 (Rp 19 triliun),” ujar Mahfud dalam keterangan tertulis kemarin.
Hardjuno menjelaskan, semestinya, Satgas BLBI selalu ingat bahwa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu melakukan kekeliruan yang sama yakni perkiraan nilai aset sudah dihitung sebagai nilai pembayaran hutang. Sementara setelah dijual yang jadi nilai tunai hanya 5 persen dari perkiraan.
Menurut Hardjuno klaim Menko Polhukam, Mahfud MD bahwa Satgas telah menyita aset obligor sebanyak 19 juta meter dengan perhitungan rata-rata nilainya Rp 19 triliun adalah pernyataan berbahaya dan berimplikasi hukum. Aset sitaan, menurut Hardjuno, bukanlah sitaan tunai dan belum masuk kas negara sehingga belum bisa dihitung. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menyatakan sitaan tanah itu nilainya sekian dan ternyata setelah dilelang nilainya jauh dari perkiraan, hal itu bisa disebut sebagai korupsi karena merugikan negara.
“Ingat BPPN menerima aset lalu sudah dikatakan nilainya sekian-sekian, hutang obligor lunas, dikasih SKL (Surat Keterangan Lunas). Ternyata setelah dijual nilainya hanya 5 persen dari perkiraan. Ini siapa yang tanggungjawab? Seharusnya bisa disebut sebagai korupsi karena rugikan negara, ini kesalahan fatal yang jangan diulang lagi. Pak Mahfud mau ganti rugi kalau ternyata nilainya cuma Rp 1-2 triliun?” papar Hardjuno.
Pada intinya, Hardjuno menegaskan, Satgas BLBI jangan pernah menilai dari valuasi aset seperti tanah yang disita, karena bisa saja nilainya di mark up. Yang harus dinilai adalah ketika aset tersebut sudah dijual dan hasil penjualannya sudah disetorkan ke kas negara sebagai pengembalian kerugian negara.
“Jadi jelas ya, angka klaim Satgas BLBI sudah sukses menyita aset sebesar Rp 19.1 Trilliun itu hanyalah angka perkiraan yang cenderung kosong melompong. Tanah-tanah sitaan yang dulu diklaim Rp 9,8 triliun itu dan sekarang tambah lagi ini, kita perkirakan jika dilelang nilainya tak lebih dari Rp 1-2 triliun,” tandas Hardjuno.
Kata kuncinya, secara sederhana Satgas BLBI diminta Hardjuno untuk menghentikan klaim-klaim nilai rupiah terkait nilai aset sitaannya dan menunggu sampai aset tersebut dilelang, jadi uang rupiah, dan masuk kas negara.
Ada yang menyatakan harga tanah ada NJOP nya, tapi harus diingat Mahfud MD tak pernah menyatakan hal tersebut dihitung dari NJOP dan yang kedua ini tanah dengan jutaan meter bukan tanah 100-200 meter. Ketiga letak tanah juga berada di banyak tempat dan bukan hanya di perkotaan.
“Makanya simpel saja, tidak usah jadi klaim-klaim angka rupiah itu sudah politik. BLBI ini perkara sederhana orang berhutang ya harus bayar sesuai utangnya. Sederhana jangan diperumit dengan angka-angka yang tidak berdasar. Pak Mahfud berani jamin kalau nanti aset sitaan itu harganya Rp 19 triliun?” pungkas Hardjuno.
Untuk diketahui Satgas BLBI menyatakan akan mengejar total utang obligor BLBI nakal sebesar Rp 110 triliun. Sampai saat ini Satgas BLBI melakukan penyitaan sejumlah aset tanah para obligor dan belum dilelang.