Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Invasi Rusia ke Ukraina, dipicu egoisme Barat mengerdilkan Rusia, mengungkapkan banyak hal. Di antaranya, standar ganda Barat dan hipokrisi Israel. Tiba-tiba saja wajah kemanusiaan Barat, sambil menutupi motif geopolitiknya membatasi ruang hidup Rusia, tampil membahana di seluruh media Barat dan sekutunya. Kehancuran infrastruktur, penderitaan rakyat, kematian warga sipil, dan lebih dari empat juta pengungsi Ukraina, mendapat tempat istimewa dalam pemberitaan mereka.
Presiden Rusia Vladimir Putin, yang kecewa dikhinati NATO untuk tidak meluaskan perbatasannya hingga ke Rusia dengan mengintegrasi Ukraina ke dalam keanggotaannya, digambarkan sebagai pemimpin ambisius yang konyol, penjahat perang, dan penjagal dari Moskow, yang akan menenggelamkan bangsanya sendiri.
Memang dalam konteks hukum internasional, invasi Rusia atas perintah Putin tak dapat dibenarkan. Ukraina adalah negara berdaulat yang bebas menentukan kebijakan luar negerinya. Secara normatif, Moskow tak dapat menghalangi Kiev bergabung dengan NATO untuk kepentingan keamanan nasionalnya. Apalagi invasi itu menciptakan preseden buruk, yang mengganggu ketertiban dan keamanan dunia. Kita juga harus mengakui bahwa krisis pengungsi akibat perang sangat nyata dan sudah seharusnya masyarakat internasional memberikan tempat aman bagi mereka.
Namun, dalam perspektif Rusia, bergabungnya Ukraina ke dalam NATO, akan mengancam keamanannya. NATO pimpinan AS bisa jadi suatu waktu akan memasang senjata nuklir di tetangga Rusia itu sebagai faktor detterence terhadap potensi ancaman Rusia. Masalah perhatian luar biasa pada pengungsi Ukraina juga dipertanyakan kesungguhan komitmen kemanusiaan Barat manakala diperbandingkan dengan sikap dan kebijakan Barat terhadap pengungsi di negara lain.
Dus, isu Ukraina dalam konteks persaingan politik Rusia-NATO melampaui norma dan hukum internasional, yang dirancang untuk menjaga hegemoni Barat atas dunia selebihnya. Dan kendati paralel dari sisi hukum internasional, AS pasti tidak akan menerima bila mana Rusia membangun aliansi militer dengan Meksiko atau Rusia membangun instalasi nuklir di tetangga AS itu meskipun atas permintaan Meksiko.
Pada 1961, pemerintah AS di bawah Presiden John F. Kennedy melancarkan invasi gagal ke Kuba, negara komunis sekutu Uni Soviet. Pada 1962, Kennedy bahkan mendeklarasi perang melawan Soviet apabila dalam 2×24 jam Moskow tak membongkar instalasi nuklirnya di Kuba, yang hanya berjarak 145 km dari pantai Florida, AS. Presiden Uni Soviet ketika itu Nikita Khrushchev memaklumi kecemasan geopolitik Kennedy sehingga memenuhi tuntutannya setelah AS juga membongkar instalasi nuklirnya di Turki. Karena missile crisis itu, Kennedy menjadi salah satu presiden AS yang paling populer dan dipuja rakyatnya hingga kini.
Masih dalam konteks tak berjalannya hukum internasional terlihat dari invasi AS ke Irak pada 2003 tanpa resolusi DK PBB dengan tuduhan palsu bahwa Presiden Irak Saddam Hussein masih menyembunyikan senjata pembunuh massal. Invasi itu berdampak pada kematian ratusan ribu rakyat sipil Irak dan menghancurkan infrastrukturnya. Irak jatuh pada kekacauan dan berujung pada lahirnya ISIS yang mengganggu keamanan internasional serta menyebarkan terorisme ke seluruh dunia. Dalam kasus-kasus di atas, di mana pelanggaran hukum internasional begitu nyata, Barat mengamini tindakan AS. Padahal, dibandingkan dengan dampak kemanusiaan akibat invasi Rusia ke Ukraina, invasi AS ke Irak lebih menghancurkan sebuah bangsa dan residunya masih dipikul bangsa Irak hingga sekarang.
Lebih dari itu, yang mencekam nurani manusia adalah pembiaran Barat terhadap serangan destruktif masif Israel atas Jalur Gaza di mana penduduknya tak mendapat keistimewaan untuk bisa mengungsi seperti warga Ukraina karena diblokade Israel dari semua sisi. Hujan bom Israel dalam empat kali konflik terbuka dengan Hamas (2008, 2012, 2014, dan 2021) yang menyebabkan kehancuran mengerikan pada bangsa terjajah itu — baik infrastruktur vital, cedera dan maupun kematian rakyat sipil — tak menyentuh nurani Barat.
Bahkan, AS menolak resolusi-resolusi DK PBB yang dirasa merugikan Israel dan membiarkan negara Zionis itu melampiaskan angkara murka sekehendak hatinya. Padahal itu bukan perang, melainkan genosida Israel atas Palestina. Israel adalah negara kaya dengan kekuatan militer terbesar di Timur Tengah, dengan semua alutsista canggih yang dipasok AS secara cuma-cuma. Senjata itu juga yang dipakai untuk menjagal anak-anak dan perempuan Palestina. Israel juga satu-satunya negara pemilik senjata nuklir ilgal di kawasan yang dibiarkan Barat. Sementara Hamas, pejuang kemerdekaan Palestina, datang dari masyarakat miskin dengan senjata seadanya yang bikin sendiri, yang digunakan untuk mencegah Israel kembali menduduki Gaza dan dijadikan alat tawar vis a vis Israel dalam perjuangan kemerdekaan.
Untuk menjustifikasi mental apartheid dan sipirit kolonialisme Israel dalam menghukum Palestina, Barat melabeli Hamas sebagai organisasi teroris. Sementara Israel yang jelas-jelas melancarkan state terrorism atas Pakestina dipuja sebagai negara demokrasi jempolan. Barat menyemangati rakyat sipil Ukraina untuk bangkit melawan invasi Rusia. Bahkan, anggota NATO memasok senjata pada rakyat sipil yang perjuangannya melawan Rusia dilukiskan dengan narasi-narasi patriotisme. Semua negara Barat bersatu melawan Rusia dan membuka perbatasannya lebar-lebar untuk pengungsi Ukraina ketika sebagian besar negara Eropa menutup pintu bagi pengungsi dari Suriah dan Libya di mana NATO berandil besar dalam perang saudara yang muncul di dua negara itu.
Rakyat Palestina di Gaza yang melawan agresi Israel divonis sebagai teroris, senentara perlawanan bersenjata rakyat Ukraina terhadap agresi Rusia dipuja, disemangati, dan dipersenjatai. Barat memang menerapkan standar ganda sesuai kepentingannya. Orang Ukraina dianggap sebagai manusia dan bangsa merdeka (karena ia adalah raison d’etre untuk mekawan Rusia), tapi tidak untuk bangsa Palestina.
Israel dilindungi karena eksistensinya menjadi simbol penebusan dosa Eropa atas holocaust yang mereka timpakan pada orang Yahudi selama berabad-abad dan untuk melayani kepentingan Barat di kawasan. Palestina dilecehkan karena ia melawan diskriminasi dan hegemoni Barat di Timur Tengah melalui penciptaan negara Zionis yang, tanpa perasaan bersalah, merampas tanah Palestina. Lebih dari itu, sejak merdeka pada 1948 Israel menerapkan politik apartheid di tanah Palestina. Pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang melanggar resolusi-resolusi DK PBB terus berlangsung karena tak ada sanksi Barat atas Israel. Demikian juga pengusiran, pemenjaraan, pembunuhan, perampokan, dan pelecahan Israel atas bangsa Palestina yang terjadi hampir setiap hari dibiarkan berlalu tanpa sanksi.
Dalam konteks perang Ukraina, yang tidak bersentuhan dengan kepentingan geopolitik atau ekonominya, Israel secara hipokrit mengecam invasi Rusia dan menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Ukraina seolah ia prihatin pada HAM yang telanggar di sana. Pada saat bersamaan, ia membuka pos-pos di negara tetangga Ukraina untuk memroses visa bagi pengungsi Ukraina yang dibujuknya untuk bermigrasi ke Israel. Tapi bukan untuk etnis Ukraina, melainkan orang Yahudi Ukraina. Tujuan Israel adalah meningkatkan populasi Yahudi untuk menjaga hegemoni demografi Yahudi atas Palestina.
Sudah sejak merdeka, Israel mendatangkan orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia, terutama dari Rusia dan Ukraina, untuk menjaga superioritas jumlah Yahudi atas populasi Palestina yang menjadi kebijakan sentral Zionis sejak awal.Tentu boyongnya 10.000 orang Yahudi ke Israel pada saat ini — mungkin akan lebih banyak lagi kalau perang berkepanjangan — akan mengorbankan Palestina. Migran baru Yahudi Ukraina sudah pasti akan dimukimkan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dengan menyita lebih banyak tanah Palestina sebagaimana dilakukan Israel selama ini.
Dus, perang Ukraina memberi keuntungan strategis bagi Israel sambil memeras air mata Palestina yang sudah lama kering. Entah bagaimana, Israel selalu menjadi pihak yang diuntungkan tapi kali terjadi musibah di tempat lain.
Perang Ukraina masih akan berkepanjangan dengan korban rakyat sipil yang semakin besar akibat Rusia dan NATO tak siap menghadapi kekalahan. Mestinya, pasca perang, isu Palestina mendapat perhatian Barat agar pijakan moral dan legalnya dalam konteks perang Ukraina sedikit banyak mendapat pembenaran. Kalau tidak, klaim Barat mengenai penghormatan pada hukum internasional, kedaulatan negara, dan HAM, hanya akan jadi lelucon dan memelihara perang sebagai salah satu instrumen dalam menyelesaikan berbagai isu politik dan keamanan dalam hubungan antarbangsa.
Kemerdekaan Palestina adalah utang moral dan politik Barat atas Palestina. Jangan memelihara prinsip “might is right” di atas prinsip hukum dan kemanusiaan yang sekarang sedang dipropagandakan Barat untuk memojokkan Rusia.
Komitmen pada kedaulatan tiap bangsa, hukum internasional, dan kemanusiaan Barat hanya akan “berbunyi” kalau isu Palestina diselesaikan secara adil sesuai resolusi-resolusi DK PBB dan Kesepkatan Oslo 1993 yang ditandatangani Israel dan Palestina di Gedung Putih, serta hukum internasional. Israel, yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi yang beradab, akan selalu menjadi tertawaan sepanjang hak-hak fundamental Palestina terus diinjak.
Dan sepanjang Barat memelihara standar ganda dan politik hipokrisi Israel terus dijalankan, maka sikap mereka terhadap perang Ukraina akan terlihat sebagai sesuatu yang menyedihkan dan perang antarbangsa, pelanggaran hukum internasional, serta penindasan antarmanusia, masih akan terjadi dengan segala konsekuensinya.
Tangsel, 2 April 2022