Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah)
“Qui desiderat, praeparet bellum” (barang siapa yang menginginkan perdamaian , ia harus siap perang)”
Untuk menyelamatkan Indonesia, dua tahun lalu Permadi mengatakan bahwa perjuangan lewat konstitusi tidak akan berhasil. Caranya hanya satu yakni Revolusi – walaupun akan sangat banyak korban tapi Republik Indonesia selamat.
Akal waras kita mengetahui negara dalam bahaya, sementara penguasa terus menebar bulian tagar perdamaian, demokrasi, menyemburkan ajaran keadilan dan keharmonisan. Kita samasekali tidak dipersiapkan untuk apa yang kita hadapi yaitu Revolusi dalam kondisi bahaya dan memaksa, alam akan menuntunnya.
Kondisi saat ini dihadapkan keadaan lebih rumit karena Revolusi yang akan terjadi atau perjuangan yang harus kita lakukan adalah melawan para penguasa (teman sendiri) yang telah merubah wajah kerjasama dengan para kapitalis dan oligarki sebagai boneka kolonialisme gaya baru dari luar.
Dipermukaan semua tampak damai, semua pejabat negara pidato meminta rakyat tetap tenang dan damai – saat bersamaan mereka Kapitalis dan Oligarki terus menyerang kita dengan, kekerasan, ketidak adilan dan kezaliman, melalui tangan tangan bonekanya.
Rezim yang keras kepala tidak lagi mau mendengar dan kompromi dengan pemilik kekuasaan yang sesungguhnya yaitu rakyat akan menyeret konflik antara penguasa dengan rakyatnya. “konflik bisa jadi berubah menjadi perang saudara sepertinya sulit untuk dihindari”. Banyak sosiolog dan psikolog berpendapat melalui konflik itulah masalah sering terpecahkan dan perbedaan lbisa di damaikan.
Hanya cara cara umum yang terjadi semua menghindari konflik karena ada alat penguasa terus membius mengatakan bahwa menghindari konflik adalah sebuah kebajikan. Sadar atau tidak saat ini penguasa terus melakukan perbuatan licik dan manipulatif, situasi seperti dipastikan akan memperparah keadaan dalam jangka panjang.
Kita terus diajak mengindari terjadinya Revolusi dengan kekuatan People Power – saat bersamaan para kapitalis dan oligarki terus melakukan gempuran dan manuver politik dan ekonomi yang senyap sulit ditelusur tetapi semua sangat dirasakan akibatnya. Mobilisasi Penguasa sumber daya alam, pengambilan tanah rakyat dengan cara paksa tragisnya di back up alat kemanan negara / penguasa adalah pemandangan yang mengerikan dan memilukan terus terjadi.
Mahatma Gandhi : mengajukan siasat tanpa kekerasan menjadi senjata hebat untuk perubahan sosial, hanya siasat Ghandhi tidak bisa menjadi rujukan baku pada situasi dan keadaan yang berbeda. Menjadi relevan pemikiran Permadi situasi sudah tidak bisa diatasi dengan perjuangan konstitusi. Demikian juga perjuangan moral sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini.
Perjuangan meyelamatkan Indonesia butuh keberanian musnahkan rasa takut. Ketika ada rasa ketakutan ketahuilah bahwa kita sedang membesar besarkan bahaya yang kita hadapi. Padahal kondisi tak tertaklukan adalah tergantung pada diri sendiri. Kita harus sanggup mengangkat diri diatas medan perjuangan. “Orang taktis itu berat dan membumi – ahli strategi itu berkaki ringan dan sanggup melihat dengan pandangan jauh dan luas”.
“Alam telah memutuskan bahwa apa yang tidak sanggup membela diri takkan dibela”. ( Tapl Waldo Emerson 1803- 1883)
“Kehidupan adalah pertempuran panjang kita harus berjuang dalam setiap langkahnya . Voltaire dengan sangat tepat mengatakan bahwa kalau kita sukses itu adalah pada ujung pedang dan bahwa kita meninggal dengan senjata di tangan”. (Athur Schopenhauer – 1851)
Revolusi untuk negara kembali ke kiblat negara dan menyelamatkan Indonesia, adalah ditangan kita semua untuk berjuang. Bukan hanya berharap kepada nasib dan takdir Tuhan yang itu sepenuhnya kita tidak mengetahui karena sepenuhnya hak dan otoritas Tuhan.
“Revolusi memang tidak bisa dipercepat dan di perlambat tetapi melihat situasi dan kondisi negara saat ini tidak lagi bisa dihindari. Revolusi satu satunya cara untuk menyelamatkan Indonesia”.