Densus 88 sangat sumir mengaitkan kegiatan Ustadz Farid Okbah di Afghanistan pada 1993 dengan terorisme.
“Framing mengaitkan aktivitas ustadz Farid di Afghanistan dengan tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang sangat sumir,” kata praktisi hukum Ahmad Khozinudin kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (30/11/2021). “Kalau aktivitas di Afghanistan yang membela kaum muslimin dianggap tindakan terorisme, toh itu locus delicti (TKP nya) bukan di Indonesia. Densus 88 hanya memiliki kewenangan menyidik perkara yang menjadi yurisdiksi hukum Indonesia,” ungkapnya.
Khozinudin mengatakan, wilayah Afghanistan bukanlah wilayah yang menjadi yurisdiksi hukum Indonesia.
Ia mengatakan, aktivitas Ustadz Farid Okbah di Afghanistan terjadi pada tahun 1993. Sementara, UU Terorisme baru dibentuk dengan Perppu tahun 2002, diundangkan menjadi UU No 15 pada tahun 2003 dan baru diubah lagi dengan UU No 5 tahun 2018.
‘Artinya, secara tempus delicti (Waktu Kejadian) terjadi sebelum diberlakukannya UU Terorisme. Padahal, hukum tidak dapat diberlakukan secara surut (Non Retroaktif). Lantas, kenapa Densus 88 mempersoalkan aktivitas ustadz Farid Okbah pada tahun 1993 di Afghanistan?” tanya Khozinudin.
Ia mengatakan, menolong kaum muslimin di Afghanistan bukanlah terorisme. Melakukan aktivitas keluar negeri untuk beribadah dengan memberkan pertolongan kepada sesama muslim bukanlah kejahatan.
“Logika terorisasi yang diterapkan densus 88 sangat menggelikan. Kasusnya terorisme, tetapi pertanyaan yang diajukan seputar pengajian-pengajian yang dilakukan Ustadz Farid. Apakah, dakwah dengan melakukan pengajian sudah dikategorikan sebagai tindakan terorisme atau setidaknya tindakan pendahuluan sebelum akhirnya melakukan tindakan terorisme ? sebuah narasi yang sangat naif dan melecehkan ajaran dakwah yang dimuliakan dalam Islam,” ungkapnya.
Adapun mengenai Jemaah Islamiah (JI), kata Khozinudin, Ustadz Farid Okbah bukan anggota, bukan pula penasehat. Ustadz Farid Okbah, menasehati orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT, agar menempuh langkah yang legal konstitusional. Bisa dengan mendirikan ormas atau parpol. Hal itulah, yang membuat beliau mendirikan partai dakwah rakyat Indonesia atau PDRI.
“Beliau juga tidak pernah kenal dengan orang bernama Parawijayanto. Berulangkali, penyidik menekankan pertanyaan ini, dan berulangkali pula Ustadz Farid menyatakan tidak kenal, tidak pernah bertemu,” pungkasnya.