Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 berisi legitimasi melakukan seks bebas alias ‘kumpul kebo’.
“Menteri Nadiem Makarim membolehkan ‘kumpul kebo’ dengan dikeluarkannya Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021,” kata aktivis Mujahid 212 Damai Hari Lubis kepada www.suaranasional.com, Kamis (4/11/2021). “Dalam Permendikbud Ristek itu disebutkan kekerasan seksual jika memperlihatkan alat kelamin tanpa ijin. Kalau ijin atau suka sama suka tidak dikenai kekerasan seksual. Ini pintu masuk zina,” ungkapnya.
Kata Damai, Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 bagian liberalisme pendidikan di Indonesia. “Sangat jelas bertentangan Pancasila dan Syariah Islam,” jelas Damai.
Anak hasil dari perzinaan, kata Damai tidak memiliki hak waris dan perwalian. “Belum lagi masalah moral bagi pelajar, mahasiswa dan generasi muda bisa hancur akibat Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021,” ungkapnya.
Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ketentuan itu menuai kritik karena dinilai justru bisa legalkan seks bebas di kampus.
Permendikbud No 30/2021 diteken oleh Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Pertimbangan disusunnya Permendikbud itu antara lain semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi.
Dalam Permendikbud No 30/2021, kekerasan seksual pada beberapa kondisi diartikan sebagai “tanpa persetujuan korban”. Tertuang dalam Pasal 5, di antara definisi kekerasan seksual itu adalah:
-memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
-mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
-menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
-menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
-membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
Pada bagian lain dijelaskan:
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.