Putusan MA tentang pencabutan PP 99 tahun 2012 menunjukkan masalah serius tentang tidak sinergisnya lembaga penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. PP 99 Tahun 2012 isinya memperketat pemberian remisi bagi terpidana korupsi, terorisme dan narkoba.
Demikian dikatakan peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad A. Hariri dalam pernyataan kepada www.suaranasional.com, Rabu (3/11/2021). “Ketika Jaksa Agung dan Ketua KPK punya konsentrasi serius terhadap penerapan tuntutan hukuman mati sebagai upaya memberikan efek jera, sementara lembaga peradilan seolah berusaha agar terpidana korupsi tidak dihukum berat bahkan mempersingkat hukumannya,” ungkapnya.
Kata Hariri, masyarakat harus mulai lebih cermat mengawasi RUU pemasyarakatan yang telah masuk prolegnas tahun ini. Dalam draft UU tersebut juga tidak termaktub syarat-syarat yang ketat dalam pemberian remisi bagi terpidana tipidsus.
“RUU pemasyarakatan juga kurang disosialisasikan kepada masyarakat. Maka publik wajib curiga bahwa dari putusan MA disusul Prolegnas RUU pemasyarakatan ini ada desain terselubung yang tidak berorientasi pada penegakan politik hukum yang baik dan mengkhianati keadilan masyarakat,” ungkap Hariri.
LSAK, kata Hariri mengusulkan perubahan atas undang-undang 12 tahun 1995 harus tetap menguatkan syarat-syarat yang ketat dalam pemberian remisi pada koruptor. “Serta harus ada peraturan yang komprehensif agar pemberian remisi tidak menjadi komoditi transaksional,” jelasnya.