Vaksinasi Timbulkan Kerumunan, PMII Demo Pemkab Lamongan

Tak Berkategori

Puluhan mahasiswa dari PC PMII Cabang Lamongan menggeruduk Pemkab Lamongan, pada Senin (31/8/2021)

Aksi demo yang dilakukan oleh PC PMII Lamongan karena merasa kecewa dengan pelaksanaan Gebyar Vaksinasi di Alun-alun Lamongan oleh Dinas Kesehatan Lamongan, pada Sabtu (28/8/2021) lalu.

Pasalnya, Pelaksanaan Gebyar Vaksinasi di Alun-alun Lamongan justru menimbulkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan (Prokes).

Pantauan dari suaranasional dalam orasinya, PC PMII Lamongan menuntut usut tuntas siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum atas pelaksanaan kegiatan yang melanggar Prokes tersebut.

Lebih lanjut, massa aksi unjuk rasa juga menyuarakan kekecewaannya, kebijakan PPKM masyarakat kecil dipaksa mematuhi prokes Covid 19, Warung dan pedagang kaki lima dibatasi mencari nafkah. Sekarang, malah Pemerintah Daerah sendiri melanggar aturan.

Usai puas menyampaikan aspirasinya di Depan Kantor Pemkab Lamongan. Massa unjuk rasa digiring masuk ke ruangan Pemkab untuk Audensi ditemui perwakilan Pemkab Lamongan.

Kalau dilihat secara hukum, vaksinasi di Lamongan yang memunculkan kerumunan sudah melanggar prokol kesehatan (prokes).

“Pejabat baik bupati atau kepala dinas kesehatan bisa dipidana,” kata praktisi hukum Sutha Widya SH kepada www.suaranasional.com, Sabtu (28/8/2021).

Kata Sutha, siapapun yang memicu kerumunan, maka telah melanggar Undang-Undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. “Sekalipun orang yang memicu kerumunan itu berdalih bahwa tidak sengaja, namun tetap saja orang tersebut telah melanggar hukum,” ungkapnya.

Dalam pasal 14 ayat 1 UU tersebut, tertulis bahwa siapapun yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah akan diancam pidana penjara 1 tahun dan atau denda Rp1.000.000.

“Memicu kerumunan itu merupakan pelanggaran undang-undang wabah karena mereka termasuk menghalang-halangi penanggulangan wabah. Baik sengaja atau tidak,” katanya.

Kata dia, aturan tersebut berlaku bukan hanya untuk masyarakat saja, namun juga berlaku untuk para pembuat kebijakan, karena mereka termasuk bagian dari masyarakat Indonesia.

“Prinsipnya, di tengah pandemi itu semua orang harus 100 persen mematuhi protokol kesehatan, tidak boleh ada diskresi,” kata Sutha.

Oleh sebab itu, kata dia, hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran tersebut juga tidak boleh pandang bulu. Harus ditegakkan kepada siapapun itu, tidak peduli apakah dia tokoh agama ataupun pejabat negara.

“Harus tegas, siapapun yang melanggar, harus ada sanksi yang tegas. Siapapun itu ya, masyarakat biasa atau tokoh masyarakat, tidak boleh ada perbedaan,” ujarnya.

(Rinto Caem)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News