Fenomena Baliho dan Tuna Empati

Tak Berkategori

Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)

Akhir-akhir ini sempat menjadi polemik di ruang publik soal maraknya pemasangan baliho atau bilboard bergambar seseorang yang terpasang di pinggir-pinggir jalan protokol di sudut-sudut sejumlah kota.

Memang, kita tak dapat melarang jika ada seseorang yang akan mengenalkan dirinya kepada publik, dengan cara memasang foto dirinya dalam selembar baliho atau bilboard. Terlebih bagi si tokoh yang tergolong “ber-duit atau ber-uang”, maka tak ada masalah baginya jika harus membayar pemasangan satu baliho yang termurah Rp.15 juta/bulan. Sehingga jika yang bersangkutan memasang baliho di 100 tempat, maka dia harus mengeluarkan dana sekitaran Rp.1,5 Milyar/bulan.

Dari gambaran termurah biaya pemasangan baliho seperti di atas, kini layak timbul pertanyaan, benarkah dana sebesar itu per bulan keluar dari kantong pribadinya atau ada sponsor di belakangnya? Lebih mendasar lagi pertanyaan berikutnya, elokkah pada masa pandemi seperti saat ini sebagian besar orang terdampak covid sedang kembang-kempis untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, sementara ada segelintir orang yang tergolong “ber-uang” dengan ringannya mengeluarkan dana sebesar Rp.1,5 M/ bulan hanya sekadar pasang baliho?

Seiring dengan maraknya tebar pesona lewat baliho di tengah krisis akibat pandemi, layak kiranya diindikasikan telah terjadi degradasi moral dengan matinya rasa kepedulian sosial atau “tuna empati” dari diri seseorang.

Berbicara soal “empati”, ajaran Islam telah menuntun bagaimana sikap dan perilaku kita dalam menjalani kehidupan ini sebagai makhluk sosial. Dalam Al-Qur’an, kita diingatkan Allah diakhir ayat 2 Surat Al Maidah melalui firman-Nya: “..Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Fenomena munculnya “tuna empati” yang telah melekat pada diri segelintir orang yang tergolong “ber-duit atau ber-uang” ini terlebih pada saat krisis pandemi seperti saat ini, hendaknya menjadi peringatan kepada kita semua atas adanya ancaman keimanan pada diri seseorang seiring telah matinya rasa kepedulian kepada sesama.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya” (HR. At-Thabrani). Layakkah seseorang mengklaim dirinya beriman, sementara dalam dirinya telah “mati rasa empatinya” terhadap penderitaan sesama?

Simak berita dan artikel lainnya di Google News