Perang terbuka Amerika Serikat (AS) bersama koalisinya dengan China bisa dilihat setelah Olimpiade Tokyo 2020. Ketegangan AS dengan China mirip gejala Perang Dunia II.
“Kemungkinan perang terbuka AS bersama koalisinya dengan China bisa dilihat setelah Olimpiade Tokyo 2020. Kondisi ini mirip gejala Perang Dunia II di mana AS dan koalisinya menghadapi Jerman. Sekarang ini AS dan koalisinya konflik dengan China,” kata pengamat kebijakan publik Amir Hamzah kepada www.suaranasional.com, Senin (2/7/2021).
Posisi Rusia dalam konflik Laut China Selatan, kata Amir bisa dilihat pertemua petinggi AS dengan Rusia di Jenewa. “Kedua petingi negara itu sepakat Covid-19 rekayasa China,” ungkapnya.
Kata Amir, ada sisi menarik, Rusia juga menjalin kerja sama dengan China dalam program teknologi pengendalian cuaca yang dirintis sejak 2020.
China mengembankan teknologi tersebut, kata Amir atas jawaban AS sudah memiliki teknologi canggih pengendali cuaca sejak 2013 hasil kerja sama AL AS, AU AS, Universitas Alaska dan Defense Advanced Research Projects Agency yang disebut High Frequency Active Auroral Research Program. “Teknologi yang dimiliki AS banyak orang berkesimpulan kondisi perubahan di cuaca di China termasuk banjir seolah-olah perang asimetris yang dilakukan AS,” paparnya.
Kata Amir, perang terbuka AS dan sekutunya dengan China bisa jadi kenyataan terlihat dari anggaran pertahanan negara Paman Sam itu mencapai Rp10.000 triliun. “Anggaran pertahanan itu mengantisipasi serangan China terhadap negara-negara yang menjadi sekutu AS. Jika Taiwan, Filipina, Singapura diserang China, maka AS akan melakukan balasan,” jelasnya.
Begitu juga anggaran pertahanan China, kata Amir meningkat menjadi Rp2.992 triliun. “Anggaran pertahanan China tidak lepas klaim negeri Tirai Bambu atas Laut China Selatan,” paparnya.
China mengklaim Laut China Selatan, menurut Amir, Pertama, China memang selalu mengklaim bahwa mereka selalu ada di Laut China Selatan, yang Sembilan Garis Imajiner (Nine Dash Line).
Kedua, menurut Amir sampai kapanpun akan mempertahankan sikap mereka. Kemudian yang terakhir, China kini memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang dapat memperkuat gerakan klaim mereka di wilayah di Laut China Selatan.
“Meskipun AS mengancam, China akan tetap mempertahankan posisi mereka karena baik militer dan ekonomi mereka sudah siap,” lanjutnya.
Posisi Indonesia
Dalam menghadapi konflik AS dan sekutunya dengan China, posisi Indonesia sangat netral sesuai politik luar negeri bebas aktif. “Namun kedekatan Rezim Jokowi ke China membuat AS menginginkan pemerintah tidak berpihak ke negeri Tirai Bambu,” papar Amir.
Menurut Amir latihan bersama TNI AD-US Army bisa dinilai publik upaya AS tidak menginginkan Indonesia ke China. “Keterangan mengenai latihan perang bersama TNI AD-Us Army hanya terbatas KSAD dan Komandan Kodiklat Angkatan Darat Letjen TNI A.M. Putranto serta Menhan,” jelasnya.
Ia mengatakan, Letjen Putranto melaporkan penambahan lebih dari 300 pasukan Para dari AS dalam latihan bersama dengan TNI AD.