Habib Rizieq Shihab (HRS), Muhammad Hanif Alatas, Dr Andi Tatat berpotensi bebas. Mereka bertiga didakwa dengan delik berita bohong. Delik tersebut disebutkan dalam dakwaan pertama, primair; Pasal 14 ayat (1), subsidair; Pasal 14 ayat (2), lebih subsidair; Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“Penolakan HRS terhadap pemeriksaan swab PCR test dan permintaannya untuk merahasiakan hasil swab PCR test bukan merupakan sebagai perbuatan aktif menghalangi upaya penanggulangan wabah,” kata Pakar Hukum Abdul Chair Ramadhan kepada www.suaranasional.com, Rabu (2/6/2021).
Menyangkut delik berita bohong, kata Abdul Chair tidak mengandung adanya sikap batin (mens rea) untuk mewujudkan perbuatan pidana dan akibatnya. Di dalam hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan batin seseorang. Hal ini sesuai dengan asas “cogitationis poenam nemo patitur”, artinya “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”.
“Oleh karena itu terhadap suatu perbuatan, maka didalamnya harus terkandung adanya kesalahan. Perihal ucapan bohong sebagaimana didakwakan bertentangan dengan asas “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”. Ucapan tersebut adalah termasuk bagian dalam pikiran sebab dirinya merasakan sudah sehat,” ungkapnya.
Kata Abdul Chair, dalam kasus RS Ummi Bogor, tidak ada akibat konkrit terjadinya peristiwa keonaran atau kekacauan di berbagai wilayah Indonesia sebagai syarat terpenuhinya unsur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pertaturan Hukum Pidana.
“Sepanjang tidak terpenuhinya unsur sebagaimana dimaksudkan, maka terhadap para terdakwa harus dibebaskan. Setidak-tidaknya dilepaskan dari segala tuntutan Penuntut Umum. Dikatakan demikian, walaupun terhadap perbuatannya memang terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana,” jelasnya.