Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)
Kegaduhan intern yang terjadi di lingkungan lembaga negara sekelas lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak urung membuat suasana gaduh bukan hanya di kalangan KPK saja, melainkan suasana gaduhnya menjadi bola panas yang liar menggelinding ke berbagai arah.
Alih-alih KPK bisa menjadi tim atau lembaga yang handal dalam memberantas tindak korupsi dari tikus-tikus berdasi bak tim Chelsea meraih gelar juara terhormat Liga Champions Ahad (30/5/2021) dini hari, malah yang ada KPK kini menjadi lembaga negara yang sedang menuju kondisi terdegradasi atau sengaja didegradasi. Tak menutup kemungkinan dalam waktu dekat KPK hanya merupakan lembaga yang tinggal sebuah nama, minimal dikenal di negeri ini pernah ada KPK
Jika judul tulisan ini boleh dikaitkan dengan sebuah prestasi, tentu hal ini merupakan sebuah paradok. Pada satu sisi ada sebuah kemunduran prestasi sehingga terdegradasi, tapi di lain sisi ada sebuah kemajuan yang sangat luar biasa.
Raihan prestasi Chelsea sebagai klub sepak bola elit dunia yang mengakhiri kompetisi Liga Utama Inggris berada pada posisi “empat besar” dan sekaligus menorehkan prestasi gemilangnya dengan meraih titel juara dan berhak memboyong Piala Berkuping Lebar julukan Piala Liga Champions 2020/2021 yang bisa diboyong ke kandang mereka.
Berbeda jauh dengan KPK yang saat kemunculan pertamanya 19 tahun lalu, lembaga ini sempat menjadi garda terdepan dalam pemberantasan tindak korupsi dan masyarakat pun sangat menaruh harapan besar terhadap kinerja KPK dalam menangkap para koruptor atau tikus-tikus berdasi. Tapi harapan masyarakat kini hanya tinggal harapan, karena KPK kalau boleh dibilang saat ini dalam kondisi terdegradasi atau sengaja didegradasi kewibawaannya sebagai lembaga yang semestinya dapat menjadi lembaga andalan dalam pemberantasan tindak korupsi di negeri ini.
Kembali jika kita mau membandingkan klub sepak bola Chelsea dengan KPK. Kesuksesan Chelsea sebagai sebuah tim tentu merupakan kerja keras dari seluruh yang terlibat di dalamnya. Dengan tidak menafikan seluruh komponen di dalam tim yang telah membantu kesuksesan, kiranya kini kita layak fokus melihat salah seorang sosok pemain Chelsea yang kontribusi kepiawaiannya dalam mengolah si kulit bundar tak perlu diragukan lagi.
Sosok pemain yang satu ini posisinya dalam tim sebagai gelandang yang tak tergantikan, bahkan kini yang bersangkutan dijuluki gelandang terbaik dunia. Pemain ini memperoleh gelar Pemain Terbaik alias Man Of The Match final Liga Champions 2021 yang diberikan kepada sosok gelandang terbaik dunia yang bernama N’Golo Kante. Uniknya raihan gelar Pemain Terbaik bagi Kante bukan hanya pada saat partai puncak final saja, tapi ia peroleh pula saat semi-final.
Mencermati sepak terjang Kante di lapangan hijau melalui siaran langsung streaming, sungguh merupakan tontonan yang mengesankan. Keberadaan Kante sebagai seorang gelandang di lapangan hijau kehadirannya nyaris ada di setiap jengkal sudut lapangan. Saat timnya menyerang, Kante menjadi destroyer atau perusak pertahanan lawan. Saat timnya mendapatkan serangan balik, Kante tiba-tiba sudah ada di setengah lapangan menghalau serangan balik, sedangkan saat timnya diserang, Kante sudah berada sejajar dengan pemain belakang timnya. Tackling-tackling Kante nyaris bersih dari pelanggaran menjadikan rekan-rekan setimnya merasa nyaman jika Kante ada di belakang saat timnya diserang.
Jika sosok gelandang terbaik dunia ini kita coba tarik ke dalam sosok seorang pejabat di KPK, adakah sosok pejabat di KPK yang piawai bak kepiawaian Kante di lapangan hijau? Adakah kini seorang pejabat KPK yang memiliki keberanian sebagai destroyer atau perusak gerombolan koruptor?
Kondisi terdegradasi atau pelemahan KPK ini mulai dapat dirasakannya setelah terbitnya revisi UU-KPK. Saat itu tidak sedikit yang menolak adanya revisi tersebut, tapi rupanya berlaku pepatah: “Biarlah Anjing Menggonggong, Kafilah Tetap Berlalu”.
Layak kiranya jika masyarakat kini tak dapat berharap banyak terhadap KPK untuk menuntaskan kasus-kasus besar korupsi, menangkap Harun Masiku saja tak ada kemampuan?