Kolonialisme Israel di Palestina dalam Bingkai Pergolakan Politik Timur Tengah

Tak Berkategori

Oleh: Abdurrahman Syebubakar
Ketua Dewan Pengurus IDe
Jakarta, 19 Mei, 2021
__________
Di tengah kekejian kolonial Israel membantai rakyat Palestina saat ini, dan siklus kekejamannya selama lebih dari 70 tahun di wilayah pendudukan, perlu dipahami konteks makro pergolakan politik dan ideologi di Timur Tengah. Pasalnya, variabel ini, langsung maupun tidak langsung, ikut mewarnai nasib bangsa Palestina.

Dalam tulisan bertajuk “Merampas Tanah Palestina atas Janji Tuhan?” (17 Mei 2021), saya menyajikan analisis tentang tumpang tindih faktor politik dan historis dengan kuatnya stimulus sentimen primordial Yahudi terhadap siklus kejahatan kolonial Israel di Palestina.

Salah satu masalah yang menghambat kemerdekaan bangsa Palestina adalah ketidakberdayaan negara-negara Arab dan dunia Islam, pada umumnya, di hadapan kolonial Israel.

Dunia Islam tidak bisa berbuat banyak kecuali sebatas mengutuk kekejaman zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina. Sebab, banyak negara mayoritas Muslim didera berbagai masalah seperti kemiskinan, korupsi, despotisme, serta pertikaian horizontal dan vertikal yang tak berkesudahan.

Sementara Zionis Yahudi telah memenangkan “pertempuran” di semua fron – wilayah, militer, ekonomi, dan politik, atas panduan hukum rimba realisme politik global dan pemihakan dunia Barat, terutama AS.

Kali ini, saya mengulas pergolakan politik Timur Tengah yang merupakan resensi BUKU karya Smith Alhadar, Pakar Politik Timur Tengah, berjudul “Anarkisme Timur Tengah: Pergolakan Politik Dan Ideologi”, yang terbit pada 2015. Tulisan ini disertai sejumlah informasi dan data terkini.

Timur Tengah Kawasan Paling Dinamis

Timur Tengah adalah kawasan paling cair dan dinamis di dunia. Berbagai peristiwa datang dan pergi dalam frekuensi sangat tinggi. Hal ini dimulai sejak Perang Dunia Pertama ketika Imperium Usmani mengalami disintegrasi dan penjajah Inggris dan Perancis membagi-bagi kawasan Timur Tengah untuk diri mereka sendiri.

Negeri Syam, yang di Barat dikenal sebagai Levant, dibagi menjadi lima negara: Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, dan Yordania. Suriah dan Lebanon jatuh ke tangan kolonialis Perancis, sementara Israel, Palestina, Yordania, dan Irak, menjadi milik Inggris. Lalu, Inggris memecah-belah Irak. Kuwait dipisahkan dari Provinsi Basra milik Irak untuk dijadikan kerajaan tersendiri.

Tindakan Inggris menciptakan Israel, melalui Deklarasi Balfour 1917, dengan menyerahkan sebagian tanah Palestina kepada Israel, merupakan peristiwa tragis bagi kalangan Palestina.

Sejak itu, konflik berdarah kedua bangsa berlangsung sampai sekarang. Ironisnya, pengakuan Palestina akan eksistensi Israel tidak mendapat balasan setimpal berupa pengakuan Israel atas negara berdaulat Palestina.

Sementara AS, beserta sekutu Barat, terutama Inggris, melepas tanggung jawab politik dan moralnya. Mengikuti kebijakan AS yg mendukung Israel tanpa syarat, Inggris menolerir semua kejahatan Israel terhadap Palestina. Akibatnya, konflik Israel-Palestina yang berdarah-darah terus berlangsung.

Situasi Palestina kian menyedihkan akibat perpecahan internal. Hamas, yang berideologi Islam dan berbasis di Jalur Gaza, menolak mengakui eksistensi Israel dan memilih jalan bersenjata untuk mengusir Israel dari seluruh tanah Palestina. Sementara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didominasi faksi Fatah yang berideologi sekuler dan berbasis di Tepi Barat, memilih jalan diplomasi untuk mendapatkan kemerdekaan Palestina dengan wilayah terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Keengganan Israel berdamai dengan Palestina berdasarkan Resolusi DK Keamanan PBB No 242 dan 338 membuat isu Palestina menjadi induk dari banyak persoalan Timur Tengah, sementara pertikaian internal Palestina menjadi penghambat bagi upaya-upaya terpadu Palestina dan Arab dalam meraih kemerdekaan bagi Palestina.

Pembentukan negara Kuwait oleh Inggris dengan memisahkannya dari negara induk, yakni Irak, juga membawa persoalan tersendiri bagi Timur Tengah. Pada 1990, Irak di bawah Presiden Saddam Hussein menginvasi Kuwait untuk mengintegrasikan kembali Kuwait sebagai salah satu provinsi Irak.

Tindakan Saddam mendapat respons keras dari pasukan multinasional pimpinan AS. Irak dihancurkan dan Kuwait dibebaskan. Tapi persoalan tidak selesai sampai di situ. Berbagai upapa dilakukan AS — yang menjadi pemain utama di Timur Tengah menggantikan Inggris dan Perancis seusai Perang Dunia II – guna menjatuhkan Saddam.

Upaya itu baru berhasil pada 2003, ketika AS menginvasi Irak. Tapi kejatuhan Saddam dan kehancuran rezimnya justru menciptakan situasi anarkis di Irak. Terjadi perang saudara berdasarkan garis mazhab dan etnis, antara Syiah, Sunni, dan Kurdi.

Arab Spring

Pada Maret 2011 Arab Spring melanda Suriah. Respons keras dari rezim Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad terhadap demonstrasi damai rakyat Suriah yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi mereka mengakibatkan pemberontakan di sebagian besar wilayah Suriah.

Konflik antara rezim dengan kelompok-kelompok pemberontak yang disokong negara-negara Arab Sunni dan Barat berujung pada perang saudara yang mematikan. Hampir 400.000 jiwa terbunuh dan lebih dari enam setengah juta menjadi pengungsi. Sebanyak 22.000 korban tewas adalah anak-anak (Kompas, 14/03/2021).

Harus diakui bahwa bantuan senjata dan dukungan politik dari pihak eksternal membuat situasi Suriah kian memburuk. Rezim al-Assad kemudian kehilangan banyak wilayah, di antaranya, kepada pemberontak al-Qaeda.

Di Irak berdiri AQI (al-Qaeda Irak) yang kemudian memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) pada Juni 2014. Al-Qaeda Suriah menolak bergabung dengan ISIS karena tak sejalan dengan visi-misi Ayman al-Zawahiri, pengganti Usama bin Ladin, sebagai pemimpin al-Qaeda saat ini.

Pembentukan ISIS ini direspons Barat dan Arab dengan membentuk koalisi Liga Arab-NATO anti-ISIS. Khilafat teror ini memiliki wilayah kekuasaan di Libya, Mesir, Yaman, dan kantong-kantong kecil di wilayah gurun di Irak dan Suriah, yang kemudian melancarkan teror terhadap masyarakat lokal.

Kendati semakin banyak negara yang mengeroyoknya, belum ada tanda-tanda ISIS akan segera menyerah. Sasaran Liga Arab-NATO bukan hanya mengenyahkan ISIS, tapi juga menurunkan Presiden Bashar al-Assad, sementara Tiongkok, Rusia, dan Iran hendak mempertahankan rezim Assad. Situasi ini membuat krisis Suriah semakin tidak menentu walaupun ada kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai di Suriah untuk bersama-sama melumatkan ISIS.

Arab Spring yang dimulai di Tunisia pada akhir Desember 2010, yang kemudian merembet ke Mesir, Libya, Yaman, Suriah, dan hampir ke seluruh negara Arab tidak membuahkan hasil yang diinginkan, kecuali di Tunisia yang berhasil mendirikan negara demokratis.

Meskipun masa depan demokrasi Tunisia sedang menghadapi ujian berat akibat krisis ekonomi dan salah urus pemerintahan, serta desakan dari negara Arab Teluk agar Tunisia mengakhiri sistem demokrasinya sebagai syarat bantuan ekonomi.

Memang kegagalan Arab Spring di sejumlah negara Arab disebabkan adanya intervensi negara luar, terutama dari negara Arab sendiri. Di Mesir, Arab Spring gagal menghasilkan negara yang demokratis akibat kudeta militer yang disokong negara-negara Arab Teluk, khususnya Arab Saudi.

Tindakan kudeta dengan menjatuhkan pemerintahan yang sah hasil pemilu yang demokratis membuat Mesir tidak stabil. Malah sekelompok orang membentuk ISIS yang berkedudukan di Semenanjung Sinai.

Di Libya, NATO membantu memberikan senjata kepada kaum pemberontak dan melancarkan serangan udara terhadap sasaran-sasaran militer rezim Muammar Khaddafy. Rezim Khadafy berhasil dihancurkan, tapi Libya ikut terbelah antara pemerintahan Libya timur berkedudukan di kota Benghazi di bawah pimpinan panglima militer Khalifah Haftar dan pemerintahan yang berkedudukan di Tripoli yang diakui PBB. Hal ini diperparah oleh campur tangan regional dan internasional.

Mesir, Uni Emirat Arab, Rusia, dan Perancis, mendukung Pemerintahan Libya Timur. Sedangkan Libya Barat didukung Turki dan Italia. AS berpura-pura netral, tapi di belakang layar ia mendukung Khalifah Haftar.

Dulunya, Haftar orang kepercayaan Khadhafy. Tapi setelah bertikai dengan Khadhafy, ia lari ke AS. Saat Arab Spring pecah di Libya, Haftar pulang ke Libya dan membentuk salah satu faksi militer di sana. Haftar kemudian muncul sebagai faksi militer terkuat karena mendapat pasokan senjata dari Mesir, UEA, dan tentara bayaran dari Rusia.

Dua bulan lalu telah terbentuk pemerintahan persatuan nasional dengan dukungan PBB yang bertugas menyatukan milisi-milisi bersenjata, membubarkan parlemen timur dan barat, mengintegrasikan insitusi-institusi negara yang terpecah, menyusun konstitusi baru, dan menyiapkan pemilu pada akhir Desember 2021.

Di Yaman, Arab Spring berhasil menjatuhkan Presiden Ali Abdullah Saleh berkat campur tangan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang disokong AS, tapi negara ini sekarang terjerumus dalam perang saudara setelah kelompok Houthi dukungan Iran mengambil alih pemerintahan di Sana’a.

Merasa terancam oleh Houthi yang membawa agenda Iran, koalisi Arab pimpinan Arab Saudi melancarkan serangan ke sasaran-sasaran Houthi dengan mengandalkan serangan darat pada milisi-milisi yang masih mendukung presiden terguling Abd Rabbuh Mansour Hadi. Saat Houthi dan pemerintahan Mansour Hadi berperang, ISIS dan AQAP (al-Qaeda di Jazirah Arab) membangun kekuatan di beberapa provinsi di Yaman Selatan.

Anarkisme di Timur Tengah juga tak lepas dari hegemoni negara-negara Barat, khususnya AS, demi menjaga kepentingannya. Paling tidak ada tiga kepentingan yang menggerakan AS untuk campur tangan di Timur Tengah.

Pertama, menjamin kelancaran aliran minyak. Kedua, melindungi Israel. Dan ketiga, menjaga dominasinya dari kemungkinan masuknya kekuatan lain – seperti Rusia atau Tiongkok – ke kawasan Timur Tengah.

Tapi ketiga kepentingan inilah yang menjadi akar persoalan pergolakan di Timur Tengah, selain sisa-sisa kolonialisme Barat di kawasan ini. Di Aljazair, misalnya, masyarakatnya terbagai ke dalam kelompok sekluer didikan Perancis dan kaum Islamis tradisionalis.

Keadaan tersebut membuat Perancis dan negara-negara Barat menyokong kudeta militer di Aljazair di saat Partai Islam (FIS) memenangkan pemilu yang demokratis. Akibatnya sempat timbul konflik berdarah-darah selama beberapa tahun antara kaum Islamis dan kelompok sekuler dukungan militer.

Demikianlah anarkisme di Timur Tengah. Faktor-faktor internal berkelindan dengan kepentingan regional dan global, peran hegemonik AS, dan sisa-sisa peninggalan kolonialisme seperti yang terjadi di Palestina, Suriah, Irak, dan Aljazair, sehingga Timur Tengah menjadi kawasan paling rumit, sensitif, dan panas di dunia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News