Potensi Jokowi mencetak hattrick menjadi presiden tiga Periode sangatlah besar. Tentu dengan catatan pihak senayan mengamandemen Konstitusi kita. Masa jabatan presiden yang saat ini maksimal dua periode, bisa diusulkan menjadi tiga periode atau lebih. Konon usulan amandemen UUD 1945 itu tengah digodok Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).
Demikian dikatakan Direktur Pamong Institute Wahyudi al Maroky dalam artikel berjudul “Wacana Presiden Tiga Periode, Menuju Kerajaan & Otoriter?”
Kata Wahyudi, jika jadi diamendemen, maka jalan bagi Presiden Joko Widodo untuk menjabat tiga periode terbuka lebar. Apalagi wancana tiga periode ini jauh hari sudah mendapat sambutan hangat dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Puan Maharani mengatakan bahwa wacana masa jabatan presiden selama tiga periode perlu dikaji. Wacana tersebut nantinya akan dibahas di Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan,” ungkapnya.
Wahyudi mengatakan, isu presiden tiga periode ini bukanlah isu biasa tanpa makna politik. Presiden merupakan jabatan politik paling prestisius. Apalagi ada respon hangat dari ketua DPR RI. “Bahkan ada sinyal lampu hijau untuk dikaji. Ini maknanya ada waktu sekitar empat tahun untuk mempersiapkan segala sesuatunya menuju 2024. Baik terkait amandemen konstitusi maupun prakondisi dukungan dari para politisi lintas partai lainnya,” jelasnya.
Ia mengatakan, jika berhasil amandemen menjadi tiga periode, bukan tak mungkin akan bisa bertambah lagi bisa seumur hidup. Bukankah dulu dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963, Soekarno bisa menjadi presiden seumur hidup? Apakah MPR saat ini akan mengamandemen Konstitusi?
“Dalam politik semua serba mungkin dan bisa saja terjadi. Namun Jika itu terjadi maka hakekatnya sudah menuju sistem Kerajaan (otokrasi), bukan demokrasi lagi,” ungkapnya.
Bagi kaum reformis, penambahan masa jabatan ini pengkhiatanan hasil reformasi. Tentu bayangan pemimpin yang kian diktator sudah di depan mata. Saat ini pun tanda-tanda ke arah otoriter pun semakin tampak. Jika diteruskan maka akan semakin dekat pada praktek sistem pemerintahan otokrasi (kerajaan).
“Belum jadi otokrasi pun sudah terasa sangat represif. Sudah banyak aktivis yang ditangkap karena bersuara kritis terhadap rezim. Ada beberapa aktivis KAMI dan beberapa aktivis lainnya, seperti Jonru Ginting, Ahmad Dani, Ali Baharsyah, Gus Nur, Habib RS, Syahganda Nainggolan, Jumhur hidayat, dll. Mereka yang mengkritisi kebijakan penguasa dengan cepat diproses hukum. Sementara yang pro rezim tidak demikian,” pungkasnya.