Aparat kepolisian tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa wartawan senior Edy Mulyadi yang melakukan investigasi kasus 6 Laskar FPI yang tertembak mati polisi.
“Tidak pada tempatnya memanggil Wartawan Edy Mulyadi sebagai saksi, mengingat devinisi saksi menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”),” kata pengacara Ahmad Khozinudin dalam artikel berjudul “Kepolisian tak Memiliki Wewenang Memeriksa Wartawan Edy Mulyadi dalam Penyelidikan Tewasnya 6 Anggota FPI oleh Tembakan Anggota Polda Metro Jaya”.
Pasal 1 angka 26 KUHAP berbunyi orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Kata Ahmad Khozinudin, wartawan senior Edy Mulyadi tidak mengalami peristiwa yang ia dengar sendiri. Edy Mulyadi hanya menuturkan ulang peristiwa yang ia ketahui berdasarkan penuturan Nara Sumber, yang dalam liputan dimaksud memang tak berkenan disebutkan.
“Sehingga pemanggilan Wartawan Edy Mulyadi sebagai Saksi tak memenuhi unsur-unsur saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 26 KUHAP. Penuturan Edy Mulyadi dalam proses penyidikan perkara tidak bernilai, karena merupakan keterangan yang terkualifikasi ‘Testimonium De Auditu’,” ungkapnya.
Kata Ahmad Khozinudin, penyidik Polri masih dimungkinkan mengambil keterangan kepada Wartawan Edy Mulyadi, namun hanya sebatas permintaan keterangan dan klarifikasi. Hal ini juga tidak bisa dilakukan langsung kepada yang bersangkutan, melainkan wajib melalui Dewan Pers sehubungan dengan peran dan kedudukan Edy Mulyadi sebagai wartawan.
Apalagi, sebelumnya Kepolisian melalui Kapolri Tito Karnavian dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo telah menandatangani kesepakatan Nomor: 2 / DP / MoU / II / 2017 dan Nomor: B / 15 / II / 2017, yang pada pokoknya berisi kesepahaman dalam Koordinasi untuk memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
“Memang benar, status Wartawan Edy Mulyadi dipanggil sebagai saksi bukan terlapor. Namun, di Republik ini orang bisa dipanggil sebagai saksi, beberapa hari kemudian berubah menjadi tersangka tanpa pemeriksaan pendahuluan, sebagaimana jamak diketahui publik dan yang paling mutakhir adalah apa yang dialami HRS,” jelasnya.
Ia mengatakan, pemanggilan aparat kepolisian secara langsung, juga berpotensi mengancam Kebebasan pers, yakni suatu hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah [Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers].