Guru Besar Undip Kritik Keras Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur BIN

Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip) Prof Suteki mengkritik keras keberadaan Deputi Intelijen Aparatur Badan Intelijen Negara (BIN).

Suteki mengkritik keberadaan Deputi Intelijen Aparatur BIN dalam artikel berjudl ‘BIN Baru dan War on Radicalism di Negeri Demokratis: Akahkan Mendorong Terbentuknya Rezim Represif dan Totaliter?”

Berikut ini tulisan lengkap Prof Suteki:

Diberitakan oleh SindoNews.com 29 Juli 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres No 90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam Perpres itu diatur penambahan struktur baru BIN yakni Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur yang tugasnya adalah merumuskan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan dan operasi intelijen pengamanan aparatur.

BIN saat ini memiliki Deputi Aparatur Negara agar Kementerian/Lembaga dari tingkat pusat sampai daerah aman dari keberadaan aparatur negara yang intoleran serta anti Pancasila. “Selain itu juga dapat turut mengawasi aparatur dari kebiasaan negatif seperti narkoba, radikalisme, separatis dan lain-lain.

Semoga tidak menjadi Rezim yang Totaliter. Negeri ini konon negeri demokratis. Radikalisme selalu menjadi momok padahal menurut Prof Siti Zuhro, problem mendasar negara ini bukan Radikalisme melainkan Ketimpangan Sosial. Peneliti Belanda Beren Schot juga menyatakan bahwa nomenklatur radikalisme yang digunakan oleh Pemerintah tidak tepat bila untuk melabei orang-orang yang dianggap berseberangan dengan Pemerintah. Di mana demokratisnya?

Kata orang, di negara yang baik penjara diisi oleh orang-orang jahat tetapi di negara yang jahat, penjara diisi oleh orang-orang yang baik. Benerkah?

Radikalisme, nomenklatur yang condong pada istilah politik dibandingkan sebagai istilah hukum. War on Radicalism akan memakan korban orang-orang baik dan kritis yang distempeli radikal. Mengapa radikalis- me itu perlu, karena menjadi radikal dalam arti amelioratif itu menjadi sangat penting agar kebenaran dan keadilan itu tetap diperjuangkan.

Kriminalisasi Radikalisme, urgenkah?

Kembali pada persolaan utama artikel ini, apakah urgen memformulasikan delik radikalisme? Untuk ini saya mencoba juga mengajukan formula apabila ada upaya pemerintah mengajukan Radikalisme sebagai larangan atau tindak pidana. Hingga saat ini belum ditemukan secara khusus delik yang mengatur tentang dilarangnya radikalisme dengan segala seluk beluknya. Bahkan, penyematan radikal dan radikalisme lebih bertendensi politik dibandingkan dengan narasi dan formulasi hukumnya, sementara negara kita adalah negara RULE OF LAW (negara hukum) sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.

Bila memang RADIKALISME sebagai paham yang harus dikriminalisasikan, saran saya, Negara (Pemerintah dan DPR) segera merumuskan DELIK RADIKALISME. Saya mengajukan resep yang terdiri dari 9 ramuan sebagai rambu-rambu kriminalisasi radikalisme sebagai berikut:

1. Naskah akademisnya harus komprehensif (filosofis, yuridis dan sosiologis terpenuhi). Kajian ini menjadi sangat urgen mengingat masih terdapat pro dan kontra persepsi kita tentang apa itu radikal dan radikalisme. Kajian oleh insan kampus yg netral, lembaga survey yg kredibel serta legislasi yang berintegritas diperlukan. Mereka harus benar-benar memasang telinga, mata dan hati mereka di tengah masyarakatnya.

2. Formulasi Radikalisme harus jelas dan mudah dipahami.
Merumuskan delik radikalisme harus hati-hati dan memenuhi kaidah tata bahasa Indonesia dan bahasa hukum agar terang dan mudah untuk pahami baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.

3. Unsur-unsur rumusan pasal radikalisme harus tegas dan rinci.
Rumusan yang kabur akan cenderung dimanfaatkan bahkan dimanipulasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sebagai alat penggebuk lawan politiknya. Unsur-unsur pasal harus rigid, apakah sifat unsur-unsurnya fakultatif ataukah kumulatif.

4.Jenis paham radikalisme harus jelas disebutkan, tidak boleh wayuh arti, ambigu.
Untuk menghindari penyalahgunaan pasal delik harus disebutkan isme mana yang dilarang dan alasannya apa dilarang. Yang secara tegas dilarang di Indonesia adalah: ateisme, komunisme, marxisme–leninisme. Harus dihindari penyebutan: “…dan paham lain yang bermaksud…dst…” Rumusan ini akan menimbulkan penafsiran SSK (Suka Suka Kami).

5. Harus dihindari penggunaan analogi dalam menetapkan kejahatan radikalisme. Sebagaimana prinsip yg dipegang dalam hukum pidana, maka penalaran hukum dalam rangka penemuan hukum dengan cara analogi harus dihindarkan. Berbahaya karena berpotensi penyalahgunaan wewenang bahkan mendorong perbuatan pejabat yang sewenang-wenang dan represif.

6. Sanksinya harus jelas dan tegas, sehingga aparat hukum dan masyarakat mengenali betul ancaman yang akan diberikan ketika tindak pidana ini dilakukan. Unsur penjeraan serta pembinaan terhadap pelaku dapat dilakukan seiring.

7. SOP penanganan kasus harus jelas, dan tidak perlu menetapkannya sebagai extra ordinary crime karena akan mendorong aparat penegak hukum bertindak represif dan di luar kewajaran dari KUHAP.

8. Khusus untuk dunia kampus harus ada pengecualian karena bila insan kampus tidak boleh berpikir radikal amelioratif (benar), maka ilmu pengetahuan akan mandeg dan kampus hanya menjadi tempat pelatihan kerja seperti BLK (Balai Latihan Kerja), tetapi sebagai media meruhanikan ilmu pengetahuan.

9. Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat dalam ideologi tetap harus dijamin, bila tidak negara ini akan terjatuh menjadi negara diktatur otoritarian, bahkan menjadi negara KOMUNIS baru.

Jika 9 formula yang seharusnya dipenuhi dalam merumuskan delik radikalisme, sangat dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi terhadap orang atau kelompok orang yang secara asali memang memiliki karakter radikal dalam arti memperjuangkan ideologi dan ajarannya. Larangan itu akan menyasar masjid, kampus dan pesantren yang selama ini dinyatakan oleh rezim sebagai tempat-tempat yang terpapar radikalisme dalam versi rezim penguasa.

Melalui pernyataan Presiden dan para punggawa tinggi negeri ini yang bertekad memerangi radikalisme dapat kita tarik kesimpulan bahwa radikalisme yang jenis kelamin nomenklaturnya belum jelas ini seolah telah ditetapkan sebagai common enemy layaknya tindak pidana terorisme. Benarkah demikian?

Saya berharap banyaknya ahli hukum di negeri ini dapat memberikan andil dalam pembentukan dan penegakan hukum yang baik dan berintegritas sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Tunjukkan kepada dunia bahwa banyaknya ahli hukum itu linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum kita yang baik bukan sebaliknya menjadi sekolah-sekolah hukum yang gagal (Failing Law Schools: Brian Z. Tamanaha). Tunjukkan bahwa kita juga konsisten dengan kelima nilai-nilai dasar itu dan bukan hanya LAMIS (lips service).

Saya tidak membayangkan potensi represif dan totaliter pemerintah akan terjadi dengan masih kaburnya delik radikalisme apalagi ditambah dengan disyahkannya RUU HIP dan RUU BPIP. Saya berharap, negara tetaplah menjadi bapak bagi warga negaranya (benevolen), bukan menjadi musuh yang harus dihadapi secara represif. Namun, harapan itu seringkali sirna mengingat sebelum ada perubahan BiN dan RUU HIP serta RUU BPIP saja karakter represifnya oknum rezim sudah sangat tampak apalagi rezim akan diperkuat dengan UU BPIP dan UU HIP.

Tabik…!!!

Semarang, Sabtu Wage: 1 Agustus 2020

Simak berita dan artikel lainnya di Google News