Bukan Maju Atau Mundur tapi Rasionalitas

Oleh: Adian Radiatus

Kepemimpinan Indonesia memasuki masa dinamis pasca 1998, tetapi sejarah mencatat peristiwa terhadap mantan presiden Soekarno, Soeharto dan Gus Dur adalah wujud keputusan rasionalitas.

Keputusan Habibie dan Megawati sebagai pengganti Presiden serta pencapresan Prabowo, Mega, SBY dan Jokowi juga keputusan Rasionalitas.

Negara demokrasi memungkinkan hal itu, manakala suatu perubahan besar dibutuhkan, bukanlah emosional atau ego sentris semata baik pribadi maupun kelompok yang diberi peran. Semua berpulang kembali pada rasionalitas.

Itu sebabnya Partai Politik yang berpijak secara rasionalitas selalu bisa hadir disetiap periode kekuasaan. Golkar adalah contoh nyata. Politik adalah dinamika kepentingan besar, kepentingan kecil atau kelompok akan tergerus pada waktunya.

Begitupun penyelenggaraan pemerintahan, legalitas pilpres adalah kekuatan demokrasi dan bukan kekuatan oligarki  meskipun mampu direkayasa.

Bila legalitas demokrasi cenderung dinodai apalagi dikhianati maka pemilik suara berbeda akan menjadi satu kesatuan kembali. Hanya waktu berprosesnya tergantung seberapa yang pro aktif dan yang ambil sikap pasif.

Oleh karena setumpuk kegagalan sikap, setumpuk kegagalan kebijakan dan setumpuk kegagalan program kerja, serta setumpuk disabilitas kekuasaan yang tampak dimata rakyat, maka penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi memiliki kekuatan rasionalitas.

Dengan demikian maju atau mundur akibat ketumpulan kepemimpinan tidak perlu lagi harus menanti protes dijalanan apalagi tatanan dunia pun berubah dengan protokol Covid19 ini.

Kesadaran itu harus muncul berdasarkan rasionalitas atas indikasi real terhadap kesejahteraan rakyat yang mundur, disabilitas kekuasaan serta kebuntuan kebijakan ekonomi.

Mencoba berlindung dibalik kehadiran epidemi penyakit bukan berarti bisa mengubur rasionalitas atas penyakit kepemimpinan yang semakin akut dan melemah…

Simak berita dan artikel lainnya di Google News