Penulis: Abdurrahman Syehbubakar
Sebenarnya saya telah mengangkat isu pemakzulan presiden sejak 2019, baik melalui tulisan maupun diskusi publik dan dialog di BravosRadio, radio digital pertama di Indonesia, asuhan Gigin Praginanto. Pasalnya, banyak kalangan yang menyakralkan posisi presiden. Tidak sedikit pula kalangan yang takut membicarakan pemakzulan nya.
Ketakutan ini sangat wajar melihat gelakat anti kritik dan sikap represif rezim Jokowi terhadap rakyat yang bersuara sumbang. Lebih lebih legitimasi rezim tergerus karena gagal menangani dampak virus corona yang menghantam kehidupan sosial dan ekonomi rakyat bagai angin puyuh. Sementara, kondisi saat ini hanya lanjutan dari multi-krisis yang diproduksi rezim Jokowi sejak 5 tahun silam.
Rezim Jokowi panik, tidak segan-segan membungkam suara kritis dengan segala cara termasuk memenjarakan mereka. Hingga kini, sudah lebih 200 orang dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara dengan berbagai macam delik, mulai dari ujaran kebencian, hasutan, hoax sampai tuduhan menghina presiden, pejabat negara dan melakukan makar.
*Realitas Politik Oligarkis*
Celakanya, politik teror yang dimainkan rezim, tumbuh subur dalam tradisi politik yang didominasi anasir oligarkis dan pro-kekuasaan, baik di partai politik maupun parlemen. Akibatnya, pemakzulan presiden, bahkan sekedar untuk membicarakannya dalam lingkup akademis, ditabukan dan dijadikan barang super mewah yang tak boleh disentuh. Hal ini terbukti dengan adanya ancaman beberapa hali lalu terhadap penyelenggara dan narasumber diskusi virtual bertajuk “Meneruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” di UGM.
Sebagian kalangan termasuk para aktivis kontra rezim mengangggap wacana pemakzulan presiden hanya sia-sia. Asumsinya, otomatis kekuatan politik di DPR yang juga menjadi bagian mayoritas MPR akan mengabaikan bahkan memblokade upaya-upaya yang coba menggoyang posisi presiden.
Sementara barisan oposisi di DPR, dengan bungkus “eufemistik” sebagai kekuatan penyeimbang, yang dilakoni PKS, jauh dari cukup. Dua parpol lainnya, yaitu PAN dan Partai Demokrat, menjadi oposisi setengah hati, atau lebih tepatnya terpaksa berperan sebagai kekuatan penyeimbang karena belum mendapat jatah kursi di kabinet jilid 2 pemerintahan Jokowi. Mereka tetap menunggu peluang reshuffle kabinet untuk bergabung ke dalam kubu pemerintah.
Resistensi terhadap upaya pemakzulan juga dengan sendirinya datang dari para pemilih dan pendukung fanatik presiden Jokowi. Dengan bekal literasi politik sangat rendah, Jokowi can do no wrong – Jokowi tidak bisa dan tidak boleh salah – di mata mereka.
Yang tidak kalah menantangnya adalah penolakan dari para pimpinan lembaga negara dan pemerintahan yang menikmati *zona nyaman (comfort zone)* – buah balas jasa presiden. Juga perlawanan dari poros di luar lembaga politik formal, terutama para cukong/oligark yang menjadi mesin uang kekuasaan. Mereka memiliki “semuanya” dan menggunakan segala cara untuk mengendalikan dan merekayasa informasi, serta mengancam kelompok kontra presiden.
Menurut Jeffrey Winters (2013), guru besar ilmu politik Northwestern University Amerika Serikat, para oligark inilah yang paling berkuasa karena memiliki uang yang lentur dan serbaguna. Uang yang mereka miliki mudah dimanisfestasikan ke dalam bentuk kekuasaan lainnya, seperti jual beli jabatan dan produk hukum-politik, menyewa kelompok masa dan milisi bersenjata.
Para oligark ini sangat ekstraktif, menguasai dan membiayai partai politik, media massa, perguruan tinggi, think-tank, ormas, lembaga keagamaan, dan lain lain. Tidak sedikit pula kaum intelektual dan aktivis menjadi pelayan para oligark.
*Pintu pemakzulan presiden dalam UUD 1945*
Seturut dengan itu, desain politik pemerintahan Indonesia sesuai UUD45, adalah sistem presidensial. Kendati bukan sistem presidensial murni, posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara, sangat solid dengan legitimasi politik yang kuat sebagai pilihan langsung rakyat untuk jangka waktu lima tahun.
Dengan sistem presidensial, diharapkan stabilitas politik pemerintahan lima tahunan relatif terjaga. Presiden tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen. Jatuh bangun dan silih bergantinya kabinet seperti yang dialami Indonesia di era demokrasi liberal parlementer tahun 1950-an ingin dihindari.
Konstitusi mengatur bahwa presiden hasil pilpres tidak tergantung secara mutlak pada lembaga-lembaga negara yang lain termasuk MPR/DPR. Dalam UUD 1945 Pasal 3 Ayat 2, disebutkan presiden terpilih dilantik oleh MPR tapi pelantikan ini bukan *qonditio sine qua non* dan tidak bersifat mutlak bagi keabsahan kepresidenannya (Hajriyanto Y Thohari, 2015). Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, presiden terpilih cukup bersumpah atau berjanji di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA (UUD 1945 Pasal 9 Ayat 2).
Namun, sempitnya ruang dalam realitas politik dan adanya ketentuan normatif konstitusi yang mengokohkan posisi presiden *tidak menutup rapat pintu pemakzulan.* Kekuasaan presiden tidaklah mutlak dan tidak tak terbatas sehingga bisa dijatuhkan di tengah jalan.
Dalam sejarah politik Indonesia merdeka, tiga presiden telah dilengserkan. Di era non demokratis – Orla dan Orba, Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dipaksa turun tahta, sementara pada masa reformasi, MPR menurunkan Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden ke 4.
Saat ini, meskipun jalannya panjang dan berliku, melalui proses politik di MPR/DPR dan proses hukum di MK, serta membutuhkan dukungan politik yang luar biasa besar, pintu pemakzulan presiden tetap terbuka sebagaimana diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden (UUD 1945 Pasal 7A).
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menabukan wacana pemakzulan presiden, baik dalam situasi normal maupun di masa pandemi. Sama sekali tidak beralasan dan tidak dapat diterima semua bentuk ancaman terhadap kebebasan rakyat untuk membicarakan pemakzulan presiden.
Terlebih, jika alasan-alasan obyektif sudah lebih dari cukup. Kita menyaksikan kegagalan demi kegagalan sebelum Covid-19. Diantaranya, jumlah rakyat miskin dan nyaris miskin membludak mencapai 140 juta jiwa, indek demokrasi dan kebebasan anjlok 20 peringkat, korupsi politik meluas – skandal Jiwasaraya sendiri menyebabkan kerugian negara hampir Rp. 14 triliun, pilpres curang dan mematikan, dan iuran BPJS kesehatan yang mencekik leher rakyat.
Daftar masalah berlanjut dan makin panjang di tengah karut marut penanganan Covid 19 yang menambah penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Sebut saja, RUU Omnibus Law pesanan pemodal yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi serta mengancam lingkungan dan rakyat, dan UU Corona sebagai pintu masuk korupsi dan otoritarianisme.
*CATATAN KRITIS IDe#60
Institute for Democracy Education
Jakarta, 31 Mei 2020