Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar
Rezim Jokowi makin kalap! Legitimasinya merosot, rezim Jokowi semakin intoleran terhadap kritik. Sejak berkuasa pada 2014, sudah lebih 200 orang dijebloskan ke penjara dengan berbagai macam dakwaan. Mulai dari tuduhan menghina presiden, pejabat, sampai makar.
Yang terakhir, Said Didu dipanggil bareskrim polri berdasarkan laporan bahwa ia merusak nama baik Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Wartawan senior Farid Gaban siap-siap dipanggil polisi atas laporan Muannas Aidid dari PSI terkait Menteri Teten Masduki. Sedangkan Rustam Buton telah dijemput petugas pada 28 Mei karena menulis surat terbuka kepada Jokowi yang memintanya mengundurkan diri dari jabatannya.
Pembungkaman terhadap suara-suara kritis ini menunjukkan rezim Jokowi makin represif. Sejumlah kebijakan yang jadi sasaran kritik Rustam Buton memang telah menimbulkan kemarahan luas. Rezim Jokowi dipandang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan Cina dengan mengorbankan rakyat Indonesia.
Sebut saja RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memanjakan investor dengan menindas hak-hak buruh. Lalu, RUU Minerba yang memungkinkan investor mengeksploitasi lingkungan tanpa sanksi hukum. Rustam juga mengkritik kebijakan rezim menghamparkan karpet merah bagi buruh kasar Cina. Dan tidak memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Sebenarnya semua kritik ini bukan barang baru dan bukan tidak berdasar. Sudah berbulan-bulan publik membicarakan dan mengkritik rezim terkait isu-isu ini, termasuk juga Perppu No 1 Tahun 2020 yang kini telah disahkan DPR menjadi UU. Sebagaimana publik, Rustam juga mengkritik UU yang jelas-jelas melanggar Konstitusi karena menghilangkan hak budgeting DPR. Juga membuat rezim leluasa melebarkan defisit APBN melebihi 3 persen sebagaimana ditetapkan UU. Yang tak kurang meresahkan, para pejabat pengguna dana senilai lebih dari Rp 400 triliun bebas dari sanksi perdata maupun pidana.
Meminta Jokowi mundur, sebagaimana yang diserukan Rustam, mestinya tak ada masalah. Orang bebas berpendapat di depan umum. Sebagai seorang mantan prajurit, Rustam sedih melihat kenyataan amburadulnya negara di tangan rezim Jokowi. Dan keos ini bersumber dari inkompetensinya mengelola negara.
Di tengah wabah covid-19, inkompetensi Jokowi dalam menanggulanginya semakin terlihat. Selain membuang percuma golden time hampir tiga bulan lamanya sejak covid-19 merebak di Wuhan, rezim tak becus menanganinya. Kebijakan plin-plan, simpang-siur, dan berubah-ubah membuat corona nenyebar tak terkendali dengan korban yang terus meningkat tajam. Akibatnya harga sosial, ekonomi, korban manusia, yang harus dibayar rakyat menjadi sangat mahal.
Diduga ke depan, rezim Jokowi akan makin represif seiring dengan meningkatnya suara-suara kritis di tengah ketidakmampuan rezim mengatasi masalah bangsa yang bertumpuk-tumpuk. Namun, yang akan terjadi bukan melemahnya oposisi, melainkan sebaliknya. Gelombang perlawanan akan menggelinding seperti bola salju. Pasalnya, rakyat tak ingin kembali ke era Orde Baru di mana rezim Soeharto semena-mena menghancurkan oposisi.
Orde Reformasi dibangun dengan darah dan air mata demi kembalinya negara demokratis yang telah diselewengkan Soekarno maupun Soeharto. Sekarang rezim Jokowi, bukan saja menuju ke sana, tetapi melampaui rezim otoriter. Rezim Jokowi telah merampas akal sehat publik, membunuh kesadaran kritis sebagian rakyat. Tak terkecuali kaum intelektual, agamawan, aktivis dan kelompok menengah lainnya. Oleh karenanya, rezim Jokowi lebih tepat disebut fasis ketimbang otoriter.
Dalam waktu singkat Jokowi berhasil mengumpulkan kekuatan di satu tangan dengan mengeluarkan beleid-beleid represif sambil menghancurkan ormas dan lembaga yang dipandang merintangi kekuasaannya. HTI dibubarkan begitu saja tanpa proses pengadilan. Kendati bercita-cita mendirikan khilafah – yang menurut kami tidak realistis – mereka organisasi terbuka dan tak pernah membuat onar. Kami tidak setuju dengan pemikiran dan cita-cita HTI, tetapi kami mengutuk tindakan rezim Jokowi yang memberangus hak konstitusional mereka untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Demikian juga dengan FPI, surat izin mereka tidak diperpanjang dengan pelbagai dalih yang dibuat buat, dan pemimpinnya dikriminalisasi serta ditelantarkan di luar negeri. Ini bertentangan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan negara melindungi setiap warganya di manapun berada. Dihancurkannya dua ormas ini tidak lain karena mereka konsisten menentang rezim Jokowi.
KPK, sebagai lembaga warisan reformasi, pun telah dikebiri. Bahkan DPR telah dilumpuhkan persis seperti zaman Orde Baru. Semuanya dilakukan agar sesuai dengan mazhab ekonomi dan politik yang dianut rezim yang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan memfasilitasi korupsi. Sebenarnya, ini sangat bertentangan dengan Pancasila. Namun, mengherankan, parpol-parpol pendukung rezim di parlemen sedang menggodok Haluan Ideologi Pancasila.
Kita jadi sanksi apakah mereka yang mengklaim diri paling Pancasilais benar-benar faham Pancasila ataukah Pancasila digunakan sebagai senjata untuk membungkam orang-orang yang tidak sejalan dengan rezim. Saya menduga Haluan Ideologi Pancasila hanya akan dijadikan alat untuk membenarkan tindakan sendiri dan menyalahkan pihak lain yang berseberangan.
Alhasil, kita sedang memasuki era kegelapan. Rezim telah berubah menjadi monster yang siap menelan anak-anak bangsa yang kritis. Entah siapa lagi yang akan menyusul Said Didu, Farid Gaban, Rustam Buton dan lain lain yang dipersekusi dan dikriminalisasi negara hanya karena bersikap kritis terhadap rezim Jokowi.
CATATAN KRITIS IDe#57*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 29 Mei 2020