Dirut TVRI Nilai Gerwani Pembela Kaum Perempuan Indonesia & Korban Hoaks Orde Baru

Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)  pembela kaum perempuan dan menjadi korban hoaks Orde Baru.

Sejarah Gerwani yang pernah jadi pembela kaum perempuan dan anak-anak itu kini jadi gambaran kaum sundal di dinding relief Museum lubang buaya dan buku sejarah,” kata Direktur Utama TVRI Iman Brotoseno di akun Twitter-nya @imanbr.

Iman juga menulis artikel di blognya http://blog.imanbrotoseno.com/berita-hoaks-sebagai-alat-balas-dendam-studi-kasus-penghancuran-gerwani/ berjudul “Berita hoaks sebagai alat balas dendam – Studi kasus penghancuran Gerwani”

Berikut ini tulisan Iman Brotoseno:

Berita hoax bukan monopoli era social media seperti sekarang. Sebagai disain komunikasi, maka dipakailah penyiaran berita hoax sebagai metode penghancuran PKI. Memang terbukti akhirnya rakyat terprovokasi untuk ikut memburu komunis dengan masivnya pemberitaan hoax secara terstruktur dan konsisten.

Berita yang dimuat Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang kemudian dikutip berbagai suratkabar dengan sejumlah tambahan seperti mata dicungkil dan lain lain, betul-betul membuat pembaca mual, marah sekaligus bergidik. Tak ada yang bisa membayangkan ada manusia yang bisa berbuat kejam di luar batas kemanusiaan seperti itu.

Banyak di antara mereka membayangkan para perempuan pelaku kekejaman itu bukan manusia. Mereka lebih mirip sebagai setan perempuan yang jahat. Jadi pertanyaan. Betulkah cerita itu sebuah fakta? Apa bukan sekadar fiksi ajaib dari sebuah imajinasi yang hebat ? Yang jelas dari sisi jurnalistik, berita tersebut bukan hanya meragukan, tapi sulit untuk dipertanggungjawabkan.

Cerita tersebut Jebih merupakan sebuah fiksi yang sengaja dihadirkan untuk memberi nuansa teror, sekaligus melegalisasi teror yang lebih kejam terhadap mereka yang dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan para para pahlawan revolusi.

Kampanye atas kekejaman itu bukan saja dibuat atas dasar kebohongan dan cerita rekaan semata, tapi memang sengaja dirancang untuk menyulut kemarahan umum terhadap kaum komunia dan sekaligus menyiapkan panggung pembunuhan besar – besaran dengan alasan dendam rakyat.

Fakta asli tentang kondisi jenasah para korban sebetulnya bisa diungkap melalui publikasi hasil otopsi tim medis terhadap jenasah. Namun fakta ini sepertinya secara sengaja disembunyikan rapat rapat. Baru tahun 1987, Ben Anderson seorang indolog dari Universitas Cornell mengungkapnya dan menimbulkan kehebohan.

Dari hasil visum tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati, menegaskan bahwa cerita soal penyayatan kelamin oleh anggota Gerwani merupakan isapan jempol belaka. Kelamin semua jenasah utuh. Malah ada sebuah jenasah yang kelaminnya belum disunat. Diduga karena almarhum memang beragama Kristen.

Tentang bola mata yang copot, hal itu dikarenakan saat dicemplungkan ke sumur posisinya adalah kepala terlebih dahulu. Tim dokter memeriksa keadaan jenasah merasa ketakutan dengan adanya tekanan lewat pemberitaan tentang penyayatan penis yang sama sekali tak terbukti . Mereka mengaku menemui kesulitan dengan penyusunan laporan akhir otopsi. sebab berita yang dilansir media massa dan kemudian berkembang di masyarakat sudah terlanjur misleading.

Seluruh bangunan fiksi atas kekejaman ini lebih tepat diarahkan ke organisasi perempuan Gerwani. Sekali lagi dengan pendekatan neuroscience, maka rakyat terusik dengan berita kekejaman Gerwani. Mereka yang digambarkan sebagai kelompok komunis yang suka telanjang menari-nari dan memotong-motong penis para jenderal itu sudah keluar dari model stereotip perempuan Indonesia.

Mayjen Soeharto, menanggapi berita tersebut dengan menyatakan, ..Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang­ petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.

Dalam konteks politik masa itu, ada kedekatan emosional antara PKI dan Gerwani, apalagi Pemerintah mengeluarkan instruksi pada akhir 1964, agar semua organisasi massa menggabungkan diri dengan salah satu partai politik. Untuk memenuhi imbauan Presiden Sukarno, direncanakan Gerwani akan memutuskan secara resmi bergabung dengan Partai Komunis Indonesia pada kongres bulan Desember 1965.

Sejumlah kalangan menyimpulkan bahwa sebagai organisasi Gerwani tidak terlibat dalam putsch. Memang benar pada saat-saat itu Gerwani sudah sangat dekat dengan PKI, sehingga ada garis komando langsung antara pimpinan PKI dan perseorangan anggota Gerwani, khususnya anggota PKI yang juga menjadi anggota Gerwani.

Keberadaan sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya saat itu lebih karena adanya latihan sukarelawan untuk mempersiapkan peningkatan konfrontasi dengan Malaysia. Mereka adalah bagian 21 juta sukarelawan terdaftar di seluruh Indonesia yang memenuhi panggilan sebagaimana seruan Presiden Sukarno.

Tempat latihan Lubang Buaya itu sendiri baru diadakan mulai Juli 1965. Mayor Udara Suyono memberikan latihan bagi pemuda-pemudi sukarelawan kampanye gayang Malaysia itu. Organisasi Pemuda Rakyat, SOBSI, BTl, Gerwani dan istri istri prajurit Cakrabirawa telah mengikuti latihan di sana secara bergelombang. Sebagian besar Gerwani hanya mengurusi dapur umum. Direncanakan bulan Oktober 1965, para pemuda pemuda NU akan datang bergabung mengikuti latihan disana.

Berita perempuan perempuan di Lubang Buaya sangat liar dan kejam, sesungguhnya bertolak belakang dengan kejadian sesungguhnya, dimana mereka juga ketakutan melihat para Jenderal dianiaya prajurit prajurit. Seorang istri prajurit Cakrabirawa yang bergabung dalam pelatihan di Lubang Buaya memberikan kesaksian, sebagaimana ditulis Saskia Elconora Wieringa ( Organisasi Organisasi Perempuan Indonesia sesudahg 1950 | Penerbit : Kalyanamitra )

….Pada pagi hari 1 Oktober saya tidur nyenyak sekali, sampai kami terbangun oleh bunyi tembakan-tembakan. Di luar masih gelap, dan kami semua menjadi ketakutan. Kami lari ke lapangan, di sana kami melihat beberapa tentara menggiring jenderal jenderal. Suasananya ramai sekali. Karena mereka terus-menerus meneriakkan “kabir” pada jendral-jendral itu. Kata yang biasa saja, karena kami sudah selalu mengucapkan. Jendral-jendral itu dipukuli dan akhirnya mereka ditembak mati, lalu dimasukkan ke dalam sumur. Begitu marah para tentara itu, sehingga peluru dihamburkan ke tubuh korban, walaupun mereka sudah mati.

Belakangan mereka menyiarkan cerita-cerita tentang tari-tarian, perbuatan seks yang tidak normal, memotong kemaluan. Semuanya itu sama sekali bohong. Jendral-jendral itu sangat ketakutan, sehingga berdiri saja mereka tidak bisa. Tapi pemudi-pemudi sukarelawan itu juga ketakutan. Mereka bersembunyi berdesak-desakan di sudut …

Sementara pihak Angkatan Darat akhirnya berhasil menyusun seluruh mozaik fiksi yang hendak dibangun. Saksi saksi dikumpulkan, mereka diinterogasi serta di foto yang kemudian dicetak melalui koran koran. Siaran TV dan radio sengaja disusun guna mengungkapkan kengerian yang terjadi di Lubang Buaya.

Seorang sukarelawati yang hadir di Lubang Buaya bercerita.
…. Ketika itu umur saya enam belas tahun dan saya anggota Pemuda Rakyat. Saya pernah ikut latihan Dwikora. Sehingga waktu diminta untuk ikut ke Lubang Buaya, tentu saja saya berangkat. Saya melihat bagaimana tentara-tentara itu membunuh jendral jendral. Saya sangat takut dan lari pulang. Kemudian saya ditangkap dan ditahan dua minggu. Saya dipukuli dan diinterogasi. Mereka memaksa kami membuka pakaian dan disuruh menari-nari telanjang sambil diambil foto kami. Lalu foto-foto itu disiarkan. Akhirnya mereka putuskan untuk memenjarakan saya. ltu waktu permulaan Desember 1965. Dan saya dilepas bulan Desember 1982…

Cerita fiksi kekejaman Gerwani kian lengkap ketika pihak militer mendengar ada 3 perempuan dewasa ikut di Lubang Buaya, yaitu Saina, Emmy dan Atikah. Agen intelijen dan militer segera melakukan pengejaran. Kebetulan di kawasan Halim, sebagaimana umumnya pangkalan militer, ada banyak tempat pelacuran. Di tempat tersebut. ada dua orang yang bemama Saina dan Emmy. Dua perempuan ini ditangkap dan disiksa hebat. Para pelacur ini tidak segera dibebaskan. Sementara itu Atikah mengganti nama dengan Jamilah hingga tertangkap. Saina, Emmy dan Jamilah ternyala menjadi sangat berjasa buat tentara dalam membangun plot fiksi kekejaman anggota Gerwani.

Emmy yang disiksa hebat, dijanjikan akan dibebaskan dan diberi uang jika ia mau menandatangani sebuah surat pernyataan. Fakta penyiksaan yang dilakukan pada tahanan perempuan dilakukan dengan cara yang tak kalah kejamnya. Gagang pecut ditusuk-tusukkan ke dalam lubang vagina percempuan yang dipaksa mengaku dirinya sebagai anggota Gerwani. Bahkan tali pengikat kerbau diikatkan di lehernya, kemudian ditarik berjalan telanjang di depan para tahanan laki-laki. Seorang narasumber menceritakan tentang tahanan pemuda pemudi yang dipaksa bersetubuh, dengan arus listrik disengatkan ke alat kelamin mereka.

Emmy akhirnya menandatangani tanpa tahu apa isi pernyataan itu karena ia sendiri buta huruf. Tapi ia merasa lega karena penyiksaan berhenti. Ternyata surat itu berupa pernyataan, bahwa dirinya sebagai Ketua Gerwani cabang Jakarta dan telah ikut ambil bagian dalam penyiksaan kelamin terhadap para jendral di Lubang Buaya. Mereka memberinya uang dua ratus rupiah dan Emmy tetap di penjara sampai tahun 1979.

Pola pola kampanye dengan berita bahwa Gerwani mendatangi rumah rumah keluarga korbang penculikan. Berita ini dimuat di Harian Angkatan Bersenjata tgl 10 Oktober, seperti diberitakan dalam editorial

….Bahwa orang orang kalap, yaitu kerasukan mahluk jahat dari Pemuda Rakyat dan Gerwani, organisasi organisasi payung PKI dengan giat melakukan perbuatan-perbuatan teror. Perempuan perempuan tak dikenal mendatangi rumah-rumah para pahlawan kita dengan memakai mukena seakan-akan mereka orang-orang Muslim. Gerak gerik mereka menimbulkan kccurigaan. karena jelas mereka itu orang orang Gerwani .Untungnya rencana jahat mereka itu telah terbongkar, sebelum sempat melakukan perbuatan jahat terhadap keluarga para Pahlawan Revolusi. Kita harus waspada….

Lebih lanjut koran itu ” menceritakan kebiadaban ” terhadap Letnan Pierre Tendean.

… Cerita ini membuktikan tentang kebinatangan Gestapu. Sesudah tertangkap ia disiksa dengan sangat kejam karena para penculik itu mengira ia Jendral Nasution. Tapi kemudian ia diserahkan kepada sukarelawan sukarelawan Gerwani. Lalu dengan tangan dan kaki terikat, Tendean menjadi permainan cabul setan setan perempuan Gerwani yang perbuatan mereka merendahkan martabat Wanita Indonesia …

Harian ‘ Angkatan Bersenjata ‘ menambah bobot fiksi menyeramkan tentang Gerwani dengan menyatakan bahwas sukarelawan sukarelawan Gerwani telah bermain main dengan para jendral dengan menggosok-gosok kan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.

Harian ‘ Berita Yudha ‘ pada tanggal yang sama memberitakan bahwa tubuh para jendral itu telah dirusak. Mata dicungkil dan ada yang dipotong kemaluan mereka.

Berita Yudha pada tanggal 26 Oktober menulis di halaman pertama. ” Alat Tjukil mata ditemukan di Garut “, sehingga drama hoaks terus konsisten tercipta. Semua pemberitaan sepertinya memang dibuat untuk menyiapkan sebuah aksi balas dendam yang massif, terlebih hanya koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang boleh terbit pada minggu minggu pertama sejak gerakan tersebut. Mengherankan, koran yang menjadi corong PKI ‘ Harian Rakyat ‘ justru diperbolehkan terbit pada tanggal 2 Oktober 1965.

Selanjutnya setelah koran koran lain diperbolehkan terbit, serta merta mereka mengambil sumber berita yang sebelumnya telah ditulis di koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Harian ‘ Duta Masyarakat ‘ milik NU memuat sebuah karangan pendek berjudul ”Gerwani Bermoral Benjat” yang mengulangi tuduhan Angkatan Bersenjata.yaitu bahwa orang-orang Gerwani bermain main kemaluan para jendral sambil memperlihatkan kemaluan mereka sendiri.

…Bahkan menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari nari telanjang di depan korba korban mereka. Tingkah laku mereka mengingatkan kita pada upacara kanibalisme yang dilakukan suku-suku primitif berabad-abad yang lalu. Marilah kita serahkan pada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan orang-orang Gerwani yang bermoral bejat …

Efek pemberitaan hoax ini menuai hasil. Massa semakin terprovokasi dan pada tanggal 12 Oktober semua kantor Gerwani dibakar. Para demonstran sambil meneriakkan ” bubarkan PKI dan hidup Bung Karno “. Belakangan Angkatan Bersenjata memberitakan bahwa dari penggeledehan disemua kantor Gerwani diperoleh sejumlah dokumen Gerwani, yang membuktikan bahwa Gerwani telah merencanakan untuk melakukan tindakan teror menyabot perekonomian, perdagangan dan produksi.

Selanjutnya Harian Angkatan Bersenjata pada tanggal 3 November 1965, memuat potret dua gadis remaja yang tampak kctakutan. dengan pernyataan seorang anggota Pemuda Rakyat yang menyebut bahwa ia melihat tiga puluh orang Gerwani berteriak-teriak, menyiksa dan bermain-main dengan Jendral Yani yang sudah dalam keadaan pingsan. Padahal diketahui Jenderal Yani sudah meninggal saat ditembak di rumahnya sendiri. Hari berikutnya tanggal 4 November 1965, Berita Yudha memuat sebuah cerita tentang sejumlah anggota Gerwani cantik yang mendapat perintah untuk menjual diri. Berita ini tertulis,

….Dokumen-dokumen membuktikan adanya gerombolan Kucing Hitam yang mendapat tugas membakar rumah orang­ orang non-Komunis. Juga hutan-hutan dan merusak berbagai instalasi vital. Bekerja dengan mereka adalah gerombolan yang disebut Kancing Hitam yang terdiri dari orang-orang Gerwani berparas cantik yang telah melacurkan diri dan mendekati pemimpin pemimpin partai lain untuk membujuk mereka agar mendukung program PKI.

Tiga hari kemudian koran yang sama melukiskan tokoh baru
….Pak Harto ( Jendral Soeharto ) sebagai orang yang sederhana, berbudi yang hobinya memancing dan berburu…

Semua koran menyiarkan sebuah pengakuan jujur dari scorang perempuan lima belas tahun, hamil tiga bulan bernama Jamilah, dengan julukan Srikandi Lubang Buaya. Diberitakan.

….bahwa baik dirinya maupun suaminya anggota Pemuda Rakyat Tanjung Priok. Pada tanggal 2 September ia dijemput salah scorang pimpinan PKI untuk mcngikuti latihan di Cililitan. Ia dibangunkan dan diperintahkan untuk menggayang kabir dan Nekolim. Ada sekitar 500 orang berkumpul di sana. 100 orang di antaranya wanita. Kepada anggota-anggota Gerwani, termasuk Jamilah dibagikan pisau- pisau lipat dan silet … Dari jauh kami melihat seseorang gemuk pendek datang: ia memakai piyama berpotongan Ganefo. Kedua tangannya diikat dengan kain merah. Juga matanya ditutup dengan kain merah. Dan Ton pimpinan kami memberi perintah supaya kami memukul orang itu. Lalu mulailah dengan pisau lipat itu mereka menikam kemaluannya. Yang pertama kali, menurut penglihatan kami, memukul dan menikam kemaluan orang itu adalah Ketua Gerwani Tanjung Priok, Ny Sas. Lalu temannya mengikuti, kemudian kami juga ikut menyiksa orang itu. Kami semuanya 100 orang yang melakukan perbuatan itu …
Lalu orang itu diseret ke sebuah sumur oleh seorang laki laki berseragam … tapi ia masih belum mati . Seorang berseragam memerintahkan Gerwani meneruskan. Dan orang-orang Gerwani meneruskan seperti yang sudah, menikam dan memicis kemaluan dan seluruh tubuhnya sampai ia mati…

Sementara itu Kesatuan Aksi telah membentuk apa yang mereka namakan Badan Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu Pusat dan dan salah satu seksi wanita dibentuk pada tanggal 5 November 1965. Dalam Seksi Wanita ini termasuk Muslimat NU, Wanita Marhaen, Gerwapsii, Aisyiah, Wanita Perti, Wanita Katolik, PII dan HMI.

Mereka mengorganisasi satu demonstrasi massa yang diikuti 25 ormas. khususnya para pelajar dan mahasiswa. Mereka membacakan resolusi di depan Mayjen Soeharto.
Resolusi ” mengutuk perbuatan Gerwani yang telah menjatuhkan derajat kaum wanita dan mendesak kepada Presiden agar segera menyatakan pelarangannya terhadap PKI, Gerwani dan ormas-ormasnya yang lain demi menyelamatkan generasi muda dari pengaruh kekejaman yang dilakukan organisasi itu ”

Kepada 30.000 massa perempuan yang hadir Mayjen Soeharto mengatakan. bahwa tanpa kaum wanita keselamatan bangsa tidak dapat dijamin. Tapi ia memperingatkan agar kaum wanita jangan mencontoh perbuatan orang-orang Gerwani yang telah meninggalkan kepribadian kita yang istimewa, karena mereka telah merusak kepribadian kaum wanita Indonesia.

Dongengan tentang tuduhan Gerwani menggunakan pisau lipat dan silet menjadi tersiar luas, sehingga timbul kelakar tentang organisasi itu. Berita Yudha tanggal 10 November 1965 menulis berita lagi

…..Seorang anak muda sedang menunggu bis di Harmoni dan mencolek temannya. ” Hei Lihat gadis disana itu. Cakep ye ? “. Temannya memandang melotot, lalu sahutnya ” Hus. Lihat dulu nyong, siapa tahu dia bawa silet “….

Gencarnya pemberitaan hoax tentang perbuatan durjana yang dilakukan orang komunis telah membuat psikologis ketakutan dan kemarahan massa. Masyarakat di dorong untuk bersiap membunuh siapa saja yang menjadi anggota PKI atau ormasnya. Sementara itu Presiden Sukarno berusaha sekuat tenaga menangkal berita berita itu. Ia memutuskan untuk menerbitkan hasil otopsi mayat para jendral yang menunjukan bahwa semua berita tentang pemotongan kemaluan dan pencukilan mata, semuanya bohong. Ia mengundang wartawan yang masih setia kepada kenyataan dan menghindari penyebaran berita bohong.

Hanya satu suratkabar menerbitkan pernyataan ini, yakni Sinar Harapan ( 13 Desember 1965). Tetapi itupun tak berguna karena tertutup oleh masivnya pemberitaan koran lain, bahkan hari yang sama Kompas menulis tentang ‘ Tarian Harum Bunga ‘ Gerwani.

Beberapa hari kemudian, Sinar Harapan ikut memuat pengakuan Saina. Gadis 17 tahun ini mengaku bahwa ia beberapa kali disuntik selama latihan enam setengah bulan di Lubang Buaya. Sesudah diinjeksi itu ia merasa nafsu syahwatnya menjadi liar. Menurut Kepala Tim lnterogasi Pepelrada Jawa BaraL Major A. Danamihardjo SH, selama enam setengah bulan latihan, Saina harus bersaing dengan 199 orang anggota Gerwani lainnya dalam melayani birahi 400 orang laki laki.

Berita Yudha memuat cerita yang sama dan memasang potret seorang perempuan bernama Saina. Sementara Koran Angkatan Bersenjata. membumbui cerita Saina lebih pedas lagi. Menurut koran ini, Saina mengaku kepada tim pemeriksa, bahwa ia ikut ambil bagian dalam Tarian yang cabul dan mesum. ” Tarian Harum Bunga” yang setiap hari dipertunjukkan dengan telanjang bulat, baik pada waktu siang atau malam hari. Ada 400 orang laki laki yang ada menonton 200 orang perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan hubungan kelamin secara bebas yang kadang­kadang seorang perempuan harus melayani 3 orang laki laki “

Aspek lain tentang “latihan” yang konon telah diberikan pada orang-orang perempuan di Lubang Buaya itu telah “dibeberkan” seorang perempuan yang mengaku bernama Sakinah. Koran Angkatan Bersenjata memuat berita ini.
….Selain melayani seks anggota-anggota Pemuda Rakyat, mereka diajar juga tentang cara memotong alat kelamin kucing. Kemudian mereka mendapat tugas memotong dua orang tentara dari Divisi Diponegoro dan dua orang pedagang dari Tegal yang mula-mula mereka pikat dengan berpura-pura sebagai pelacur ….

Sampai sekarang tidak bisa dibuktikan siapa yang memesan atau mendisain berita berita hoaks itu. Jika dilihat pemberitaan awal, koran koran utama ABRI seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata masih mengabarkan penemuan jenasah para Jenderal secara umum tanpa ada tambahan berita hoaks. Baru setelah pemakaman munculah berita berita tentang kisah kekejaman di Lubang Buaya.

Julius Pour menulis dalam bukunya ‘ Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang ‘ mengisahkan pengakuan wartawan Berita Yudha yang mendapat perintah dari pemimpin redaksinya yang juga merangkap Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen Ibnu Subroto agar para redaksi menulis berita berita yang bisa membangkitkan semangat masyarakat melawan PKI. Apakah kelak berita berita hoaks ini menjadi bagian dari kisah yang harus diangkat, tidak bisa dibuktikan juga. Karena berita berita ini muncul bukan dari koran koran resmi ABRI saja, tapi juga koran koran lainnya.

Sejarah panjang organisasi Gerakan Wanita Indonesia ditutup dengan menjadikannya sebagai bagian epilog dari Pengkianatan G-30-S/PKI. Gerwani yang pernah jadi pembela kaum perempuan dan anak-anak itu kini hanya jadi gambaran kaum sundal di dinding relief Museum Pcngkhianatan G-30-S/PKI serta sejumlah buku sejarah. Sesekali, minimal setahun sekali penguasa mengingatkan kembali ke masyarakat akan gambaran kekejaman para perempuan sundal di masa lalu. Dalam pemutarbalikan antara fakta dan fiksi yang terjadi, pers pada awal Orde Baru memiliki peran yang tak sedikit. Barangkali karena itulah akses untuk menelusuri kembali pemberitaan media massa pada waktu hingga kini tak bisa dilakukan secara terbuka.

(Beberapa sumber termasuk makalah dalam Seminar sehari ” Tragedi Nasional 1965 ” yang diselenggarakan Masyarakat Sejahrawan Indonesia, 8 September 1999 di Gedung Dewan Riset Nasional, Puspitek)

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News