Negeri Para Pelawak

Saya sedih sekali menulis catatan ini. Saya tidak terima, jika pemimpin negeri ini dicaci, dimaki, dihina oleh kalian semua.

Apalagi saat motor kesayangannya, yang dia tanda-tangan begitu indah menawan menyejukkan hati, kemudian dilelang, saya bangga sekali, sangat bangga saat mendengar harganya, laku 2,5 milyar. Itu memang harga yg sangat pantas bagi motor milik pejabat. Sama pantasnya saat anak, menantu, keluarga pejabat mau nyalon ikut berkuasa. Berlinang air mata saya melihatnya. Sungguh mulia.

Tapi apa yang terjadi? Ternyata yang membeli motor itu buruh lepas. Tentu jangankan mau bayar 2,5 M, buat memenuhi kebutuhan sehari2 saja harus bekerja. Aduh, saya sangat sedih. Sekaligus marah semarah-marahnya ke siapapun yang tertawa atas kasus ini. Kalian mempermalukan negeri ini. Sungguh tega kalian menyakiti hati pejabat kita yang teduh wajahnya, senantiasa lembut hatinya.

Bagaimana mungkin lelang seserius ini, diadakan oleh BPIP, BNPB, MPR, ternyata dijadikan ajang lelucuan saja oleh kalian. Mereka sudah verifikasi datanya loh. Sudah semua disiapkan oleh orang2 yg sangat berkompeten, sangat pandai, putra-putri terbaik yg siap mengabdikan diri untuk uang, eh, demi bangsa. Mereka tidak akan keliru.

Tapi tetap kalian tertawakan pemimpin kita. kalian kritik habis2an. Senang sekali saat ada kesalahan ini. Mencari2 titik lemah. Astagfirullah, kalian tidak tahu apa adab ke pemimpin? Mereka itu orang hebat. Coba lihat saat konser itu dilakukan, ada foto2nya di berita, ada videonya, lihat, mereka tidak pakai masker, berkerumun lebih dari 5 orang, itu bukti orang hebat. Satria piningit, titisan dari langit, karena kalau orang biasa, dia akan pakai masker di tempat publik. Patuh pada pemimpin yg selalu mengingatkan. Beda dengan orang hebat, virus coronanya yang malah maskeran.

Maka, nasi telah menjadi bubur. Saya sungguh sedih atas respon kalian semua. Malu semalu-malunya. Unfaedah saja komen2 kalian. Ingatlah, negeri ini tidak akan merdeka, jika tidak ada pemimpin sekarang. Kita semua masih dalam alam penjajahan Belanda, jika partai2 politik sekarang tidak berkuasa. Dan Pancasila, sungguh jika tidak ada BPIP yang menyelenggarakan konser ini, kita masih mengeja kata ‘gotong royong’ dan ‘solidaritas’, karena merekalah kita mendapat pencerahan tentang hakikat kehidupan. Satu pidato dari mereka, bagaikan gelombang pencerahan seluruh semesta alam.

Jadi saya menyerukan, jika kalian masih punya iman di dada, berhentilah menertawakan pemimpin kita dalam kasus lelang motor listrik ini. Apalagi menyalahkan mereka, panitia, dll. Mari fokus ke pelaku yang menipu saja. Karena semua ini memang salah rakyat jelata.

Tabik.

*Tere Liye, penulis novel “Negeri Para Bedebah”, “Negeri Di Ujung Tanduk”, dan “Selamat Tinggal”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News